TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintahkan agar indeks kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia minimal bisa mencapai peringkat 50. Saat ini, Indonesia masih berada di peringkat 73 dari 190 negara di dunia.
“Pak Presiden lewat arahan khusus ke kami, minimal harus peringkat 50 dari saat ini 73,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Oktober 2019. Target ini justru turun dibandingkan yang pernah dicanangkan sebelumnya oleh Jokowi yaitu peringkat 40.
Terakhir kali, Bank Dunia melaporkan indeks kemudahan berusaha 2020 pada Kamis, 24 Oktober 2019. Bank Dunia menyebutkan peringkat Indonesia masih berada di posisi 73 atau tak berubah dari posisi 2019. Meski begitu, Indonesia mencatatkan peningkatan skor pada indeks dari 67,96 pada tahun lalu menjadi 69,6.
Sejumlah faktor mendukung kenaikan ini, antara lain proses untuk memulai bisnis, urusan perpajakan, hingga kegiatan perdagangan lintas batas "Indonesia (Jakarta) mempermudah proses untuk memulai bisnis dengan memperkenalkan platform online untuk lisensi bisnis dan mengganti sertifikat cetak dengan sertifikat elektronik," seperti dikutip dari laporan itu, Kamis, 24 Oktober 2019.
Untuk itu, Bahlil akan segera bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Lewat pertemuan itu, Bahlil akan meminta agar urusan kemudahan berbisnis ini dialihkan seluruhnya ke BKPM. “Agar kami maksimal,” kata dia.
Selain itu, kata Bahlil, BKPM juga telah menyiapkan sejumlah strategi untuk memperbaiki indeks kemudahan berbisnis pada 2021. Salah satunya yaitu reformasi struktural. Bahlil menyebut, 10 indikator dari indeks kemudahan berbisnis akan masuk dalam reformasi struktural ini.
Sepuluh indikator tersebut yaitu memulai usaha, perizinan mendirikan bangunan, pendaftaran properti, penyambungan listrik, pembayaran pajak, akses perkreditan, perlindungan investor minoritas, perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, dan penyelesaian perkara kepailitan.