Heroe yakin, selama sistem layanan berjenjang masih diterapkan BPJS Kesehatan pelayanan tetap tidak akan efisien meskipun besaran iuran dinaikkan. Justru biaya pengobatan masyarakat akan semakin mahal. “Biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan pun kian tinggi. Sebab, pasien yang ditangani oleh rumah sakit tipe B atau A, berarti BPJS juga sudah membayar di rumah sakit tipe D dan C,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani regulasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam aturan itu, besaran iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung oleh APBN maupun peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI daerah) sebesar Rp 42 ribu dan mulai berlaku 1 Agustus 2019. Pemerintah pusat memberikan bantuan pendanaan kepada pemerintah daerah sebesar Rp 19 ribu per peserta per bulan sejak Agustus 2019 untuk menutupi selisih kenaikan iuran di 2019.
Besaran yang sama, yaitu Rp 42 ribu, juga ditetapkan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) dengan layanan kelas III.
Sementara untuk PBPU dan Bukan Pekerja kepesertaan kelas II sebesar Rp110 ribu, dan kepesertaan kelas I sebesar Rp 160 ribu. Besaran iuran baru BPJS Kesehatan bagi peserta PBPU dan BP ini akan berlaku mulai 1 Januari 2020.