TEMPO.CO, Solo-Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani beleid yang berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan tersebut dinilai justru membuat beban keuangan pemerintah semakin berat.
Pengamat hukum kesehatan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Pujiyono mengatakan kenaikan iuran itu tidak hanya memberatkan masyarakat yang membayar iuran secara mandiri. "Beban pemerintah juga menjadi lebih berat," katanya saat ditemui, Rabu 30 Oktober 2019.
Dia menyebut iuran sebagian besar peserta BPJS Kesehatan ditanggung oleh pemerintah. Selain Penerima Bantuan Iuran (PBI), pemerintah juga ikut andil dalam pembayaran premi bagi para aparatur sipil negara serta para anggota TNI dan POLRI. "Termasuk para pegawai Badan Usaha Milik Negara," katanya.
Menurutnya, prosentase dari golongan tersebut mencapai 67 persen dari keseluruhan peserta BPJS Kesehatan. "Sedangkan peserta mandiri hanya 33 persen saja," katanya.
Kondisi tersebut menurutnya akan membuat kelembagaan BPJS Kesehatan semakin tidak sehat lantaran memiliki ketergantungan anggaran kepada pemerintah. "Mereka jadi kurang kreatif, kurang inovatif dan miskin terobosan," katanya.
Kenaikan iuran tersebut menurutnya tidak akan mampu memperbaiki kondisi dalam tubuh lembaga tersebut. "Perlu ada perombakan besar-besaran dari sisi kelembagaan," katanya. Peran BPJS Kesehatan sebagai regulator sekaligus operator jaminan kesehatan menurutnya sangat tidak ideal.
Menurutnya, peran sebagai regulator idealnya diserahkan kepada Kementerian Kesehatan. Pengalihan peran tersebut bisa dilakukan dengan merevisi Undang Undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. "Karena defisitnya sudah terlalu besar, perlu dipertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu," katanya.
Perubahan kelembagaan itu juga harus diikuti dengan perombakan manajemen di BPJS Kesehatan. Dia menyarankan agar pemerintah menempatkan para praktisi keuangan dan asuransi di lembaga tersebut. "Besarnya tunggakan memperlihatkan bahwa lembaga itu tidak perform," katanya.