TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Presiden Jokowi kembali menunjuk Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan ditanggapi positif oleh pasar. Meski begitu, sedikitnya ada tiga pekerjaan rumah sudah menantinya di periode pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf Amin.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta menyebutkan Sri Mulyani punya PR besar pertama yakni untuk menggenjot investasi dan meningkatkan penerimaan pajak. "Program reformasi perpajakan perlu ditingkatkan," kata Nafan saat dihubungi, Selasa, 22 Oktober 2019.
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai Sri Mulyani punya pekerjaan rumah kedua yakni harus segera memperbaiki pengelolaan utang agar semakin produktif. Yang jadi kekhawatiran saat ini, menurut dia, bukan rasio utang yang masih di bawah 60 persen, tapi pertumbuhan utang tiap tahunnya tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Rata-rata pertumbuhan utang pemerintah di periode I jokowi adalah 11,7 persen tiap tahunnya. Sementara pertumbuhan ekonomi 5-5,1 persen. "Jadi ada yang putus korelasi utang dan pertumbuhan ekonomi," kata Bhima saat dihubungi.
Jika dilihat dari penggunaannya, utang terbesar untuk belanja kementerian dan lembaga sebesar 40,3 persen, kemudian belanja pegawai 27,6 persen baru belanja modal di urutan ketiga yakni 22,1 persen (APBN 2018). "Kalau habisnya untuk belanja konsumtif, wajar utangnya kurang produktif," ucap Bhima.
Bhima juga menyoroti soal iuran BPJS Kesehatan dan subsidi BBM. "Bu Sri Mulyani coba renungkan kembali apakah tepat di saat ekonomi sedang melambat iuran BPJS mau dinaikkan, kemudian subsidi listrik 900 va mau dikurangi juga dengan subsidi BBM," kata dia.
APBN, menurut Bhima, ada PR ketiga untuk Sri Mulyani untuk menciptakan countercylical sebagai bantalan agar daya beli tidak terjun bebas. Kalau pencabutan aneka subsidi tetap dipaksakan, sangat mungkin ekonomi tumbuh di bawah 5 persen.