TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan atau Kemenhub menyebut rencana kenaikan tarif penyeberangan sebesar rata-rata 28 persen tak bisa dihindarkan. Kenaikan tarif ini untuk meningkatkan mutu keselamatan transportasi penyeberangan yang tidak naik tarif sejak 2016.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kemenhub, Budi Setiyadi mengatakan, regulasi tentang tarif ini sudah 2,5 tahun tidak ada pembaruan sementara formulasi tarif sejak 2003 belum ada perubahan."Pada prinsipnya regulasi ini ada penyesuaian tarif, harapan saya juga ada timbal balik dari operator," terangnya, Selasa 8 Oktober 2019.
Dengan kenaikan tarif rata-rata 28 persen tersebut, diharapkan para operator akan mendapatkan penambahan penghasila. Dengan demikian, dapat meningkatkan mutu keselamatan penyeberangan.
Budi menegaskan kenaikan tarif itu mau tidak mau memang perlu dilakukan mengingat harga yang sudah terlalu jauh dengan kondisi di lapangan. Ia mencontohkan tarif penyeberangan Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur--Gilimanuk Bali untuk penyeberangan penumpang sebesar Rp6.500 per orang dan operator hanya mendapatkan Rp2.800. Biaya lainnya digunakan untuk biaya sandar, asuransi dan lain-lain. "Jadi kecil sekali, ibaratnya sekarang parkir saja Rp5.000. Ini tanggung jawab kita menjaga keselamatan makanya jangan diartikan naik, tapi ini investasi keselamatan," tuturnya.
Dia berharap penyesuaian itu mengutamakan aspek pelayanan, keselamatan dan kenyamanan para penumpang. "Saya harapkan kalau sudah seperti ini jangan lagi ada didengar penumpang jatuh, mobil jatuh dari kapal, semua harus diperbaiki," tuturnya.
Kenaikan tarif penyeberangan komersial itu mengacu permintaan Gabungan Nasional Pengusaha Angkutan Sungai Danau, Penyeberangan, dan Feri (Gapasdaf) kepada Kemenhub, termasuk melalui DPR. Dengan adanya tarif baru tersebut, dasar perhitungannya lebih jelas yakni berdasarkan harga pokok penjualan (HPP), seperti modal dan investasi.