TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Sofyan Djalil mengatakan bahwa Rencana Undang-Undang (RUU) Pertanahan batal disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini, Selasa 24 September 2019. Pembatalan dilakukan karena masih ada poin-poin dalam rancangan aturan yang masih perlu didiskusikan.
"DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk menunda pengesahan. Sebab, pada diskusi terakhir ada beberapa poin yang barangkali perlu diskusi ulang," kata Sofyan ketika mengelar konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, DPR telah mengumumkan bakal mengelar Rapat Paripurna pada hari ini. Dalam rapat tersebut, DPR berencana bakal mengesahkan sebanyak 6 aturan menjadi undang-undang, salah satunya adalah RUU Pertanahan. Namun demikian, keputusan tersebut ditunda usai terjadinya aksi demo oleh mahasiswa.
Sofyan enggan menjelaskan poin-poin apa dalam rancangan undang-undang tersebut yang masih perlu didiskusikan. Sebab, hal ini belum didiskusikan kembali antara pemerintah dengan DPR. Namun, ia membenarkan bahwa belum disahkannya rancangan undang-undang tersebut karena masih adanya perbedaan pandangan.
Selain itu, Mantan Menteri BUMN ini menyebut beberapa hal yang menjadi perhatian masyarakat terkait pengesahan RUU Pertanahan. Misalnya, terkait keberadaan bank tanah, pemanfaatan dan penataan tanah untuk kepentingan sosial serta terkait hak ulayat.
"Tentu kami paham bahwa dalam proses pembuatan perundang-undangan banyak sekali pandangan yang berbeda. Tapi, kami prinsipnya bagaimana bisa melahirkan aturan yang bisa menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah," ujar Sofyan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan dirinya memahami keinginan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta empat RUU ditunda pengesahannya. Karena itu, DPR telah sepakat untuk memberi waktu, baik kepada DPR maupun pemerintah guna mengkaji dan mensosialisasikan kembali RUU tersebut.
Kendati demikian, Bambang mengatakan bahwa RUU Pertanahan masih dalam pembahasan di tingkat I. Artinya, masih membutuhkan waktu sebelum bisa disahkan lewat Sidang Paripurna.
"Harapannya, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham menuduh DPR dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat," ujar Bambang.