Mayoritas, atau 90 persen pasien RS adalah peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). "Jelas tak bisa mengandalkan hanya dari pasien umum,” ujar Siti. Ia lalu merinci, besaran anggaran yang harus dikeluarkan rumah sakit untuk gaji tenaga medis hingga karyawan bulanannya Rp 3,8 miliar.
Sedangkan biaya operasional pelayanan yang dikeluarkan rumah sakit rata-rata per bulan Rp 6 miliar. Jika dijumlah kebutuhan untuk internal operasional rumah sakit plus jasa layanan tenaga medis itu totalnya sudah hampir Rp 10 miliar per bulan.
Jumlah pengeluaran bulanan ini jelas tak akan cukup jika hanya ditutupi dari pemasukan dari klaim pasien umum yang rata-rata per bulan hanya Rp 1 miliar sampai Rp 1,5 miliar.
“Memang kami masih bisa mengandalkan dana cadangan atau tabungan, tapi bukan untuk membayar jasa layanan tenaga medis, melainkan untuk kebutuhan prioritas seperti membeli obat serta rumah tangga seperti tagihan listrik dan air,” ujar Siti.
Keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan juga membuat rumah sakit swasta terpaksa menalangi biaya untuk rumah sakit hingga dicairkan oleh pemerintah. Perusahaan obat-obatan juga enggan memasok obat jika biaya tidak disalurkan segera.
Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana mengatakan dampak keterlambatan pembayaran obat tersebut berakibat pada rumah sakit yang tidak dapat membayar obat dan menopang biaya operasional rumah sakit (RS). "Kondisi tersebut akan membuat kekosongan obat karena rumah sakit terlambat membayar obat ke distributor obat dan pemenuhan kebutuhan operasional yang lain," ujarnya pada pertengahan Februari 2018 lalu.
Keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan tersebut dikhawatirkan bakal mengganggu keuangan RS. Bahkan kondisi ini, kata Arida, berpotensi membuat mutu pelayanan menurun, di tengah upaya pemerintah mendorong peningkatan pelayanan kesehatan.
ANTARA | PRIBADI WICAKSONO | BISNIS