TEMPO.CO, Jakarta -Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat bahwa neraca perdagangan untuk minyak dan gas atau migas selama dari Januari hingga Juli 2019 mengalami defisit sebesar US$ 4,9 miliar. Karena sepanjang semester satu nilai impor migas sebesar US$ 12,64 miliar dan nilai ekspor migas sebesar US$ 7,71 miliar.
Plt Dirjen Migas Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral atau ESDM Djoko Siswanto menanggapi defisit neraca dagang migas yang disebabkan karena pengurangan ekspor gas yang sebagian besar untuk domestik. "Ekspor kita juga secara umum berkurang karena memang ekspor gas kita kurangi agar bisa digunakan dalam negeri," ujarnya saat ditemui di Gedung Migas, Kuningan, Jakarta Selatan, 15 Agustus 2019.
Menurut Djoko keputusan itu diambil, kalau dipaksakan ekspor gas, ini akan berlawanan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi modal pembangunan nasional.
"Gas ini untuk pabrik pupuk, petrokimia, untuk PLN, Jargas. Semua itu kita dapatkan untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri," ucapnya.
Kemudian BPS juga mencatat, selama Juli 2019 saja, impor migas mencapai US$ 1,75 miliar atau naik 2,04 persen dibanding Juni 2019. Namun, angka ini turun 34,29 persen jika dibandingkan nilai impor migas pada Juli 2018 (year on year/yoy)
Adapun Djoko mengatakan, bahwa penggunaan gas dalam negeri sudah mencapai angka 65,4 persen. Menurutnya, porsi yang cukup besar untuk domestik sebagai modal pembangunan, menciptakan lapangan kerja, "agar sektor yang lain tidak impor," tambahnya.
Selanjutnya, Djoko juga menuturkan bisa saja memerbaiki neraca dagang migas yang saat ini defisit. Nanti tinggal semua gas diekspor tapi akan berdampak pada sektor lain. pabrik pupuk tutup, pupuknya impor semua, pabrik petrokimia tutup karena bahan bakunya gas, akhirnya produk petrokimia kita impor, mau begitu?" jelas Djoko.
Untuk itu, Djoko menginginkan agar masyarakat mengerti bahwa migas ini tidak bisa serta-merta diekspor untuk mengatasi neraca yang defisit. Pasalnya dalam negeri juga bergantung dengan komoditas tersebut. "Kebijakan sektor kita bahwa energi itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, untuk modal pembangunan. Nah ini kita lakukan konsisten," tambahnya.