TEMPO.CO, Bandung -Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku tengah memantau perkembangan soal rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. “Ya rencananya. Minta lebih bijaksana lagi,” kata dia di Bandung, Kamis, 8 Agustus 2019.
Ridwan Kamil mengatakan, pilihan untuk menaikkan iuran agar dikaji lagi jika besaran kenaikannya memberatkan masyarakat. “Setiap kenaikan yang memberatkan masyarakat untuk dikaji lebih mendalam,” kata dia.
Ridwan Kamil mengatakan soal iuran dinilai bukan satu-satunya masalah yang melibat BPJS Kesehatan sehingga mengalami defisit. Salah satu penyumbang beban BPJS diantaranya soal mudahnya merujuk pasien agar ditangani rumah sakit.
“Banyak sekali hasil laporan-laporan, hal-hal sederhana itu, diantrekan ke rumah sakit. Kira-kira begitu. Mungkin terjadinya beban BPJS itu bukan semata-mata karena iurannya yang kurang, mungkin. Tolong dikaji,” kata Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil mengatakan, BPJS Kesehatan disarankan agar memberi porsi lebih pada edukasi soal layanan kesehatan. “Jangan-jangan datang dari pola pikir terlalu mudahnya kita menyelesaikan pengobatan itu langsung ke rumah sakit, sehingga membebani beban BPJS yang terlalu besar,” kata dia.
Ridwan Kamil setuju agar masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan tidak berulang lagi. “Kita meminta permasalahan BPJS tidak terjadi lagi,” kata dia.
Tapi soal iuran dinilai bukan satu-satunya yang harus menjadi perhatian. “Meningkatkan edukasi sebenarnya juga harus menjadi prioritas,” kata Ridwan Kamil.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN telah mengusulkan besaran kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk anggota mandiri atau pekerja bukan penerima upah kepada pemerintah. Dalam usulan tersebut, DJSN meminta premi untuk seluruh kelas naik mulai Rp 16.500 hingga 40 ribu.
"Rinciannya, besaran iuran yang diusulkan DJSN untuk kelas I Rp 120 ribu," ujar Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN, Ahmad Anshori saat dihubungi Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2019 melalui pesan pendek.
Dari usulan tersebut, premi kelas I tampak yang mengalami kenaikan paling signifikan. Sebelumnya, iuran anggota PBPU untuk kelas ini hanya Rp 80 ribu. Sedangkan kelas II diusulkan naik Rp 29 ribu, yakni dari semula Rp 51 ribu menjadi Rp 80 ribu.
Selanjutnya, iuran untuk kelas III diusulkan naik Rp 16.500. Bila semula premi untuk kelas ini hanya Rp 25.500, kini DJSN meminta pemerintah mematok menjadi Rp 42 ribu.
Ahmad mengatakan, usulan ini dilatari oleh berbagai pertimbangan. Pertama, kenaikan premi menyesuaikan dengan nilai keekonomian pelayanan jaminan kesehatan nasional. "Kami telah mengacu pada data realisasi belanja jaminan kesehatan nasional selama 2014-2018," ujar Ahmad.
Dengan penyesuaian tarif iuran, DJSN memperkirakan persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun akan kelar dalam rentang dua tahun. Malah, menurut dia, besaran anggaran ini akan membuat BPJS surplus Rp 4,8 triliun.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Nasional Kesehatan atau BPJS Kesehatan akan naik di semua kelas. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan BPJS dari defisit yang terus naik.
"Semua kelas (akan naik). Karena antara jumlah urunan dengan beban yang dihadapi oleh BPJS tidak seimbang, sangat jauh," kata Moeldoko saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Agustus 2019.
Moeldoko mengatakan Kantor Staf Presiden selama ini kerap menerima persoalan-persoalan mengenai BPJS Kesehatan. Karena itu, ia merasa kenaikan ini adalah hal yang sangat wajar. Tahun ini, BPJS Kesehatan memang diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp 29 triliun.
Selain sebagai langkah penyelamatan BPJS Kesehatan, Moeldoko juga menyebut kenaikan ini juga perlu, agar masyarakat sadar bahwa untuk sehat itu perlu biaya yang mahal.