TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menyatakan performa tidak baik dari tingginya rasio not performing loan atau NPL milik penyedia layanan pinjaman meminjam atau fintech peer to peer lending atau P2P lending menjadi bagian dari risiko para investor.
BACA: OJK Persilakan DPR Kaji UU Fintech
"Kalau terjadi NPL tinggi itu adalah risiko investornya atau lendernya, jadi silakan saja ya para pemberi pinjaman fintech, ya investornya mempertimbangkan," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso ditemui di SCBD, Jakarta Selatan, Selasa 2 April 2019.
Sebelumnya, angka NPL fintech peer to peer lending mencapai angka 3,18 persen pada Feburari 2019. Angka ini disebut terus meningkat dibandingkan pada posisi Agustus 2018. Kendati demikian, angka ini sebetulnya masih lebih rendah jika dibandingkan pada Januari 2018 yang mencapai angka sekitar 4 persen.
BACA: OJK Bangun Gedung di SCBD, Ketua: Semangat untuk Bersinergi
Adapun angka penyaluran pinjaman dari fintech P2P tercatat melonjak sebanyak 605 persen secara year on year. Tercatat angka penyaluran dana kepada para borrower telah mencapai angka tertinggi sebesar Rp 7,05 triliun dibandingkan pada Agustus 2017 yang baru mencapai Rp 480 miliar.
Wimboh menjelaskan potensi risiko NPL untuk plaform penyalur fintech memang tinggi. Karena itu, ia menyarankan kepada para investor atau pada para lender untuk bisa berhati-hati mengenai persoalan NPL atau gagal bayar yang bisa meninggi tersebut.
"Sehingga yang berpikir adalah orang yang memberikan investasi ke fintech atau borrower. Karena ini kan produk baru, lama-lama begitu tahu NPL tinggi, investor harus hati-hati," kata Wimboh.
Baca berita tentang OJK lainnya di Tempo.co.