TEMPO.CO, Jakarta -Lembaga riset Prakarsa menyebut aliran keuangan gelap keluar terbesar terdapat pada ekspor komoditas batu bara. "Selama 1989 hingga 2017, Indonesia kehilangan US$ 19,64 miliar dari komoditas batu bara," ujar peneliti Prakarsa Dwi Rahayu Ningrum saat memaparkan penelitiannya di Restoran Madame Delima, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
BACA: Aliran Keuangan Gelap ke RI dari Sawit Cs USD 583 Juta
Setelah batu bara, komoditas aliran duit gelap keluar juga berasal dari ekspor minyak sawit dan karet. Menurut Dwi, proporsi aliran keuangan gelap terhadap nilai ekspor tertinggi pada komoditas batu bara terjadi pada 2001 yang mencapai 86 persen. "Apabila melihat dari dari proporsi terhadap nilai ekspor, aliran keuangan gelap keluar pada komoditas ini juga merupakan yang terbesar, mencapai 23,42 persen."
Dalam penelitian itu, Prakarsa mengolah data enam komoditas unggulan ekspor dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi harmonize system. Enam komoditas itu antara lain batu bara, minyak sawit, karet, udang-udangan, tembaga, dan kopi. Untuk mengestimasi aliran keuangan gelap, ia menggunakan pendekatan global financial integrity yang menghitung kesalahan tagihan perdagangan baik berupa over-invoicing maupun under-invoicing.
BACA: Aliran Duit Gelap, RI Berpotensi Kehilangan Pajak USD 11 M
Sementara itu, Dwi mengatakan aliran keuangan gelap masuk paling besar berasal dari komoditas minyak sawit yang nilainya mencapai US$ 40,47 miliar. Menyusul sawit, ada komoditas karet dan tembaga. Proporsi aliran keuangan gelap masuk tertinggi dari komoditas minyak sawit terjadi pada 2001, yang nilainya mencapai 167,5 persen.
"Dibandingkan kelima komoditas Iainnya, secara proporsi terhadap nilai ekspor, aliran keuangan gelap masuk dari komoditas minyak sawit juga merupakan yang tertinggi, mencapai 35,62 persen," kata Dwi.
Secara keseluruhan, Prakarsa menemukan bahwa pada periode 1989 hingga 2017, Indonesia mengalami aliran keuangan gelap masuk dengan cara ekspor over-invoicing sebesar US$ 101.49 miliar. Tanah Air juga mengalami aliran keuangan gelap keluar dengan cara ekspor under-invoicing sebesar US$ 40,58 miliar akibat adanya selisih pencatatan perdagangan antar negara di enam komoditas ekspor unggulan tersebut.
"Ini berarti Indonesia mengalami lebih banyak aliran keuangan gelap yang masuk dibandingkan keluar pada keenam komoditas ekspor unggulan Indonesia yang nilainya mencapai lebih dari US$ 60 miliar USD," kata Dwi. Setiap tahun, rata-rata Indonesia mengalami aliran keuangan gelap keluar pada enam komoditas tersebut sebesar US$ 233 juta. Sementara, aliran keuangan gelap yang masuk rata-rata mencapai US$ 583 juta.
Atas temuan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti belum berkomentar banyak. "Kami akan pelajari study tersebut dan melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga yang disebutkan dalam study tersebut," kata dia.
Baca berita tentang Keuangan Gelap lainnya di Tempo.co.