TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memberikan sertifikasi kepada lebih 138 komisaris dan direksi dari sejumlah calon platform pada Kamis, 28 Maret 2019. Sertifikasi ini sebagai prasyarat mendaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penyelenggara fintech P2P Lending.
Baca juga: Industri Fintech Tumbuh Pesat, DPR Kaji Rancangan Undang-undang
“Dengan sertifikasi, para pemimpin dan pemilik perusahaan diharapkan sudah memahami ekosistem industri sehingga mereka dapat menjalankan bisnisnya sesuai dengan Market Conduct,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi dalam keterangan tertulia Kamis malam, 28 Maret 2019.
Adrian menyebut sertifikasi tersebut adalah komitmen AFPI dalam menjalankan mandat dari OJK, bahwa setiap calon penyelenggara fintech lending harus telah mengikuti training dan mengikuti ujian untuk memperoleh sertifikasi terlebih dahulu dari asosiasi untuk dapat mendaftar sebagai penyelenggara pinjaman online. AFPI merupakan asosiasi resmi yang ditunjuk OJK sesuai surat penunjukkan OJK No. S-5/D.05/IKNB/2019 sebagai mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara fintech P2P Lending.
“Selain memberikan sertifikasi bagi calon penyelenggara, AFPI juga memberikan sertifikasi bagi anggotanya, baik kepada komisaris, direksi, karyawan termasuk petugas penagihan," kata Adrian.
Dia menuturkan pemberian sertifikasi adalah salah satu fungsi AFPI untuk menjalankan pengawasan dan pengaturan kepada anggotanya agar menjalankan praktik bisnis yang bertanggung jawab dan melindungi nasabah.
Wakil Ketua Umum AFPI, Sunu Widyatmoko mengatakan AFPI telah menyiapkan arsitektur AFPI yang diawasi Komite Etik. Arsitektur AFPI terdiri dari policy advocacy, code of conduct atau pedoman perilaku sebagai dasar AFPI menjalankan disiplin pasar, literasi dan edukasi, data knowledge and intelligence, dan kolaborasi.
“Dengan code of conduct ini asosiasi ingin melindungi konsumen dari aturan-aturan yang ada dan diawasi oleh komite etik. Keberadaan komite etik dan arsitektur AFPI ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab,” ujar Sunu.
Terkait adanya rencana Dewan Perwakilan Rakyat yang bakal mengkaji pembentukan Undang-undang untuk mengatur perihal fintech, Sunu berpendapat beleid itu perlu terus disiapkan. Ketentuan itu, menurut dia, menjadi bukti bahwa para pelaku usaha ingin membangun industri fintech, khususnya pinjaman online, di Indonesia lebih baik ke depannya guna melindungi konsumen serta penyelenggara Fintech.