TEMPO.CO, Jakarta - Dua ekonom senior, Faisal Basri dan Rizal Ramli menyampaikan kritik mengenai pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Keduanya memandang, pembangunan infrastruktur saat ini masih terkesan ugal-ugalan dan kurang melalui perencanaan yang matang.
Faisal Basri mengkritik pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang berbasis di daratan. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim yang wilayahnya lebih banyak perairan. "Jadi harusnya, infrastruktur laut-lah yang jadi backbone (tulang punggung), jadi kalau bangun infraatruktur itu jangan meniru China atau Malaysia (berbasis darat)," kata Faisal dalam diskusi di Restoran Batik Kuring, SCBD, Jakarta, Kamis, 28 Februari 2019.
Walhasil, kata Faisal Basri, biaya logistik yang seharusnya turun jika ada infrastruktur laut, terpaksa bertahan di level yang cukup tinggi. Dari data yang dilansir Nikkei, Faisal menyebut biaya logistik Indonesia 25 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sementara Vietnam dan Thailand hanya 20 persen dan 15 persen.
Faisal Basri mengutip kajian yang dihasilkan World Bank atau Bank Dunia, yang disampaikan di depan para menteri saat gelaran IMF-World Bank di Bali, Oktober 2018. Saat itu, kata dia, Bank Dunia menyebut pembangunan infrastruktur adalah kebalikan total dari best practices alias ugal-ugalan.
"Kalau ugal-ugalan maka biaya operasinya mahal, umurnya pendek, akibatnya generasi mendatang harus sediakan lagi biaya tambahan."
Kritik kedua disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Ia mencontohkan proyek listrik 35 ribu Mega Watt yang diprediksi bakal menimbulkan ekses atau kelebihan kapasitas karena melebihi kebutuhan yang ada. Terlebih, PPA (Power Purchasment Agreement) alias perjanjian jual beli tenaga listrik mewajibkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membayar sebanyak 72 persen dari biaya pembangunan generator oleh kontraktor.
Dengan target dan skema ini, kata Rizal, PLN berpotensi menggelontorkan subsidi sebesar US$ 10 miliar per tahunnya. Hal ini, kata dia, sama saja artinya mengajak PLN untuk merugi. "Infrastruktur itu perlu, tapi harus di-planning. Ini karena ugal2an, jadi hasilnya tiga O, over prices, over supply, over load, sehingga manfaatnya tidak seperti yang dibayangkan."