TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah konsentrat tembaga yang diekspor PT Freeport Indonesia diperkirakan anjlok menyusul turunnya produksi tahun ini. Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yunus Saefulhak menyebut produksi konsentrat Freeport tahun ini merosot dari tahun lalu di kisaran 2,1 juta ton menjadi sekitar 1,2 juta ton pada tahun ini.
Baca juga: Pendapatan Anjlok, Freeport Tak Bagi Dividen Hingga 2020
"Kira-kira 200 ribuan itu diekspor dan sekitar sejuta diolah di smelter di Gresik," ujar Yunus di Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019.
Pada 2018, ujar Yunus, Freeport bisa memproduksi 270 ribu ton bijih tembaga per hari dari kapasitas produksi 300 ribu per hari. Dari biji tersebut, konsentrat yang diproduksi sekitar 2 juta hingga 2,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, 1,2 juta ton diekspor dan 800 ribu diproses di smelter di Gresik, Jawa Timur.
Yunus mengatakan merosotnya produksi Freeport itu disebabkan peralihan di tambang Grasberg dari sebelumnya tambang terbuka alias open pit menjadi tambang bawah tanah.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Perseroan) Budi Gunadi Sadikin mengatakan tambang bawah tanah Grasberg sampai sekarang memang belum berproduksi. Budi mengakui investasi untuk pertambangan itu sempat telat sebelum rampungnya proses divestasi kelar.
Imbas dari belum berproduksinya tambang bawah tanah itu adalah merosotnya EBITDA Freeport Indonesia pada 2019 hingga 2020. Sebab, tambang terbuka Grasberg juga akan mulai berhenti berproduksi pada tahun ini. "Tambangnya belum kekejar, yang undergroundnya belum mulai produksi," kata Budi.
Namun, Budi menegaskan anjloknya pendapatan Freeport pada tahun ini dan tahun depan bukan disebabkan oleh habisnya cadangan barang tambang di sana. Ia mengatakan tambang bawah tanah Grasberg bakal mulai berproduksi secara stabil pada 2023. "Jadi jangan dimarahi kalau produksi turun pada 2019-2020, itu bukan karena tambangnya habis."
Dalam keadaan stabil tersebut, kata Budi, Freeport bakal memiliki revenue sebesar US$ 7 miliar per tahun atau sekitar Rp 98 triliun per tahun dengan asumsi nilai tukar Rp 14 ribu per dolar AS. Selanjutnya, EBITDA perseroan dalam keadaan stabil mencapai US$ 4 miliar atau RP 56 triliun. Adapun laba dari perseroan bisa mencapai US$ 2 miliar.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono menegaskan pendapatan Freeport turun bukan lantaran perkara menipisnya cadangan maupun kadar barang tambang di sana. Penurunan itu disebabkan proses produksi di tambang bawah tanah Grasberg masih belum dimulai.
Setelah tambang bawah tanah beroperasi, Bambang optimistis pendapatan PT Freeport Indonesia bakal mulai naik kembali. "Sejak 2020 dan 2021 akan naik lagi sampai 2025, nanti 2025 akan mulai stabil," ujar Bambang.