Jakarta - Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ida Nuryatin Finahari, menceritakan kronologi pembangunan proyek geotermal atau panas bumi di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Proyek ini diprotes warga hingga kini berlanjut lewat perlawanan di media sosial lewat tagar #SaveGunungTalang.
Baca juga: Klarifikasi ESDM Soal Protes Warga Sumbar di Proyek Geotermal Gunung Talang
"Konflik yang terjadi dikarenakan adanya aksi provokasi yang dilakukan oleh warga yang berasal dari wilayah di luar proyek pengusahaan," kata Ida saat dihubungi, Minggu, 25 November 2018. Ini karena sejak awal pelelangan proyek, sosialisasi telah dilakukan kepada seluruh warga sekitar.
Cerita bermula pada 2016 saat Kementerian membuka lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Talang-Bukit Kili yang merupakan salah satu proyek strategis nasional dalam rangka penyediaan tenaga listrik. Kementerian kemudian melakukan sosialisasi mengenai rencana proyek ini kepada pejabat daerah setempat.
Dalam proses lelang, konsorsium PT Hitay Daya Energy, perusahaan asal Turki, bersama anggota PT Dyfco Energy, mengalahkan PT Pertamina (Persero) yang menguasai mayoritas pembangkit geotermal. Setelah ditetapkan sebagai pemenang pada Oktober 2016, pembangkit listrik garapan Hitay ditargetkan bisa beroperasi pada 2021.
Menurut Direktur Panas Bumi Kementerian Energi saat itu, Yunus Safulhak, Hitay Investment Holding memenangi lelang lantaran menawarkan harga jual listrik panas bumi US$ 12,75 sen per kilowatt-jam (kWh) untuk WKP Gunung Talang.
Adapun Pertamina mematok harga US$ 13,6 sen per kWh. Saat ini, blok seluas 27 ribu hektare tersebut memiliki potensi listrik panas bumi hingga 65 megawatt (MW). Pemerintah menyasar potensi energy 20 MW untuk pembangkit listrik.
Setelah itulah konflik dengan warga dimulai. Puncaknya pada November 2017 saat terjadi peristiwa pembakaran mobil perusahaan. Akibat insiden ini, polisi menangkap tiga orang yang diduga menjadi pelaku tindakan anarkis tersebut. Untuk meredam konflik, Hitay bersama dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Solok pun melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Setelah kejadian itu, sosialisasi semakin digencarkan pejabat daerah. Pada 14 Februari 2018, diadakanlah Focus Group Discussion (FGD) di kantor DPRD Provinsi Sumatera Barat. FGD ini melibatkan Pemerintah Kabupaten, tokoh masyarakat, LSM, dan LBH. Dalam forum ini Hitay juga menghadirkan ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI).
"Respons dari peserta forum ini baik dari anggota DPRD, pemerintah daerah, masyarakat bahkan termasuk perwakilan LBH mendukung program pengembangan panas bumi," kata Ida.
DPRD Kabupaten Solok juga mengajukan untuk diadakan forum yang sama di gedung mereka Kabupaten Solok pada 23 Februari 2018. Forum ini dihadiri Pemerintah Kabupaten Solok dan tokoh masyarakat. Setelah mendengarkan paparan ahli, Ketua DPRD Kabupaten Solok beserta forum disebut sangat mendukung pengembangan panas bumi yang tengah digarap Hitay.
Tak berhenti di situ, Wakil Bupati Solok, Yulfadri Nurdin juga melanjutkan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar proyek pada 27 dan 28 Februari 2018. Selama sosialisasi, sebagian warga memang bersikeras menuntut agar tiga orang yang ditahan untuk dilepaskan. Tapi Yulfriadi menjelaskan bahwa kasus yang menimpa ketiga orang ini adalah murni masalah hukum.
Sebulan kemudian, 21 Maret 2018, saat Hitay bersiap melakukan kegiatan survey soil test, kembali terjadi penghadangan berupa demonstrasi warga yang menuntut pembebasan tiga orang yang ditahan. Menurut Ida, masyarakat dan tokoh adat serta ninik mamak asli warga Nagari Batu Bajanjang, Lembang Jaya sangat marah atas sikap para pendemo tersebut karena para pendemo bukan warga asli nagari tersebut.
"Terjadi perkelahian antar warga yang berakibat jatuhnya enam korban dari pihak Kepolisian yang berusaha melerai perkelahian," ujar Ida.
Maka, inilah yang menjadi alasan kuat dari kementerian dan Hitay sebagai konsorsium proyek, bahwa penolakan berasal dari warga di luar kawasan proyek. Kementerian, kata Ida, tetap meminta Hitay untuk melaporkan penanganan konflik yang terjadi secara detail dan berkala. Sebab pada dasarnya, masyarakat setempat mendukung proyek ini.
Berbeda dengan keterangan Kementerian ESDM, Rizal, warga Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, menyatakan bahwa masyarakat sekitar menolak keberadaan proyek ini. Proyek ini, kata Rizal, ditolak karena di sanalah lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber mata pencarian mereka. Masyarakat sekitar menggantungkan hidup dengan menanam padi, kentang, cabe, hingga bawang merah. “Dengan hasil itu, kami menyekolahkan anak-anak,” ujarnya.
Walhasil sampai awal minggu lalu, warga yang memprotes keberadaan proyek, berduyun-duyun menjaga lokasi proyek agar tidak dimasuki oleh pihak konsorsium PT Hitay Daya Energy. Selain di lokasi proyek, gelombang protes tersiar secara online. Di twitter, tagar #SaveGunungTalang mencuat. Salah satunya disuarakan oleh Walhi Sumatera Barat, yang ikut mendampingi warga di sekitar lokasi proyek.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Barat, Chaus Uslaini, membenarkan bahwa Rizal merupakan warga di salah satu lokasi proyek PT Hitay Daya Energy. Walhi bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Nurani Perempuan, ikut mendampingi Rizal dan warga Lembang Jaya.
Masyarakat Lembang Jaya, kata Chaus, sebenarnya ingin mendengar secara langsung analisis para ahli terkait dampak negatif dari proyek geotermal, seperti yang terjadi di beberapa lokasi di Indonesia. Masyarakat juga ingin mengetahui bagaimana upaya mitigasi yang dilakukan perusahaan dan pemerintah jika terjadi kegagalan teknologi atau human error dalam proyek ini.
Dalam akun Twitternya, Walhi Sumatera barat menulis, "Masyarakat harus diutamakan, didengar dan diberi informasi yang jelas terhadap dampak lingkungan yang akan muncul dari penambangan dan bebas menentukan, mengizinkan atau tidak mengizinkan proyek itu." Cuit itu disertai #SaveGunungTalang.
Baca berita soal Gunung Talang lainnya di Tempo.co