TEMPO.CO, Jakarta - Nilai utang secara global kembali memecahkan rekor tertinggi pada kuartal I tahun ini. Data dari Institute of International Finance (IIF) menyebutkan utang swasta, pemerintah, dan rumah tangga pada Januari-Maret lalu mencapai US$ 247 triliun (Rp 3,5 juta triliun). Lebih besar 11,8 persen dari nilai utang kuartal I 2017 dan 4,2 persen di atas nominal utang kuartal akhir 2017.
Dari total utang kuartal I tahun ini, porsi terbesar dicetak oleh sektor usaha non-finansial, yakni US$ 186 triliun atau 75,3 persen. Rasio utang pada periode tersebut sudah melampaui 318 persen dari produk domestik bruto (PDB) secara global. "Tingkat utang rumah tangga dan korporasi sudah memecahkan rekor tertinggi pada periode ini," demikian petikan hasil riset IIF, seperti yang dimuat di Koran Tempo, Jumat 13 Juli 2018.
Baca: Biaya Logistik RI Tinggi, Bank Dunia Kucurkan Utang USD 300 Juta
Beban utang yang sedemikian tinggi menjadi kekhawatiran kalangan investor. Apalagi potensinya kian besar lantaran saat ini dunia dilanda perang dagang, yang bisa membuat jeblok pendapatan devisa negara-negara eksportir. "Tingginya utang di sektor korporasi juga seharusnya dipikirkan para pelaku pasar, dan dicari solusinya agar tidak bertambah besar," kata ekonom Natixis, Joseph LaVorgna, kepada CNBC.
Menurut LaVorgna, utang korporasi sangat rentan terhadap suku bunga yang lebih tinggi. Dia pun mengatakan tingginya utang swasta saat ini merupakan dampak dari rendahnya suku bunga pada masa lalu, saat negara-negara besar melonggarkan kebijakan moneter dan memberikan stimulus. Swasta, kata LaVorgna, mengambil kesempatan untuk mencari dana saat suku bunga rendah dan memakai dana tersebut di pasar modal.
Baca Juga:
Presiden S & P Investment Advisory Service, Mike Thompson, mengatakan volatilitas pasar dan peluang tingginya inflasi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina bisa menimbulkan efek yang sangat besar terhadap utang. Namun, kata dia, sejauh ini, pasar keuangan memiliki ketahanan yang cukup mengejutkan di tengah tingginya tekanan.
Lembaga donor pun mengeluarkan peringatan lantaran utang yang kian membengkak. Akhir tahun lalu, Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), David Lipton, mengatakan tingginya utang dan rendahnya suku bunga menimbulkan risiko pasar yang cukup besar. Adapun Direktur Keamanan Amerika Serikat, Dan Coats, mengatakan utang Negeri Abang Sam itu sudah mencapai US$ 21 triliun. "Ancaman yang mengerikan bagi keamanan ekonomi kita," ujarnya.
April lalu, IMF menyatakan, utang global telah mencapai level tertinggi, di atas rekor US$ 164 triliun yang terjadi pada 2016. Utang tersebut mencapai 225 persen dari PDB. IMF pun memperingatkan pemerintah negara besar dan berkembang untuk menekan tingkat utang. Direktur Departemen Fiskal IMF, Vitor Gaspar, mengatakan negara-negara di seluruh dunia harus memangkas utang publik. "Saat ini tepat untuk meningkatkan ketahanan," ujarnya.
Menurut IMF, utang negara maju melampaui negara berkembang, dengan rasio 105 persen dari PDB. Negara berpendapatan menengah biasanya mencetak rasio utang rata-rata 50 persen dari PDB. Adapun rasio utang negara berpenghasilan rendah sudah di atas 40 persen.
FERY FIRMANSYAH