TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani mengatakan para pelaku usaha mencermati dua hal. Pertama, proses peninjauan penggunaan fasilitas generalized system of preference (GSP) yang dilakukan oleh AS kepada Indonesia, dan kedua pembahasan perjanjian dagang bebas Regional Comprehensive Economic Partnership dengan Cina.
"Saat ini proses peninjauan fasilitas generalized system of preference (GSP) tengah dilakukan oleh AS kepada Indonesia," kata Shinta.
Baca juga: Perang Dagang AS Cina Segera Dimulai, Rupiah Makin Remuk?
Peninjauan tahap pertama berupa pemeriksaan produk ekspor asal Indonesia yang mendapat fasilitas GSP telah dilakukan pada Januari-April 2018. Adapun 5 produk ekspor utama Indonesia yang memanfaatkan insentif GSP pada 2017 antara lain perhiasan (US$182,4 juta), ban (US$164,8 juta), kawat berisolasi (US$118,7 juta), asam lemak monokarboksilat industrial (US$91,4 juta), dan alat musik (US$86,7 juta).
“Sementara itu, proses peninjauan tahap kedua, baru akan dilakukan oleh AS pada 19 Juli nanti. Proses ini perlu dicermati, karena ini menyangkut perlakuan Indonesia kepada produk-produk dan perusahaan asal AS, adil atau tidak bagi mereka,” ujarnya.
Pada pemeriksaan tahap kedua tersebut, lanjutnya, Washington akan melihat bagaimana tingkat aksesibilitas produk asal Abang Sam di Tanah Air. Apabila dinilai sengaja memberikan halangan, maka akan menjadi perhatian dan penilaian bagi AS untuk memberikan fasilitas GSP kepada Indonesia.
Selain itu, AS akan menilai pangsa pasar produk mereka di Indonesia dan dampak pemberian GSP kepada produk asal Indonesia terhadap serapan tenaga kerja domestik AS.
“Dari perlakukan AS ke Cina saat ini, kita perlu mencermati, apakah berpotensi dilakukan ke Indonesia juga. Mengingat, defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia cukup besar,” katanya.
Di sisi lain, dampak perang dagang AS—Cina juga berpotensi memengaruhi proses perundingan pakta perdagangan bebas RCEP yang diinisiasi oleh Negeri Cina.
Shinta memaparkan, dengan adanya proteksi atas sejumlah produk ekspor China ke AS, maka tidak menutup kemungkinan Beijing akan memaksa para negara calon anggota RCEP untuk menerima produk-produk yang dihalangi oleh AS melalui sejumlah poin perjanjian. Seperti diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara yang tertarik untuk ikut serta dalam RCEP.
“Kita harus kawal, jangan sampai pasal-pasal perjanjian dalam RCEP itu sengaja dibuat untuk mengalihkan produk ekspor China yang ditolak AS, menuju negara anggota,” ungkap Wakil Ketua Kadin tersebut terkait dampak perang dagang AS-Cina.