TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengevaluasi kompetensi para syahbandar dan petugas dinas perhubungan di seluruh Indonesia terkait keselamatan pelayaran. Pasalnya, kecelakaan laut tak hanya dipicu masalah kelaikan kapal, tapi juga karena lemahnya kemampuan otoritas pelabuhan dalam memperkirakan kondisi pelayaran.
Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Surjanto Tjahjono, diminta ikut memberi arahan pada 350 kepala dishub dan pejabat subsektor laut yang dikumpulkan di Jakarta, kemarin. Ada juga kepala balai transportasi darat yang ikut menangani angkutan penyeberangan.
"Kami tegaskan bahwa kapal laik administrasi belum tentu laik laut atau aman berlayar," ujarnya pada Tempo, Jumat 6 Juli 2018.
Baca: Kemenhub: Penyeberangan di Danau Toba itu Masalah Bersama
Surjanto mencontohkan dengan kecelakaan kapal feri Lestari Maju yang melayani penyeberangan dari Pelabuhan Bira (Kabupaten Bulukumba) ke Pelabuhan Pamatata (Kabupaten Kepulauan Selayar), Sulawesi Selatan, Selasa lalu. Kapal berkapasitas 250 penumpang itu dikandaskan usai mengalami kebocoran di bagian lambung. Hingga kemarin, sudah 34 korban meninggal yang ditemukan.
Meski masih diinvestigasi, kata Surjanto, KNKT menduga adanya keterlambatan informasi terkait perubahan kondisi perairan. Namun, tak tertutup kemungkinan bahwa otoritas pelabuhan dan nahkoda abai, atau bahkan tak memahami informasi yang ada.
Baca juga: Kemenhub Akui Pengawasan Penyeberangan di Danau Toba Tak Maksimal
"Syahbandar itu pintu terakhir yang memutuskan pelayaran. Nahkoda juga kalau kita sudah keluarkan data cuaca, dia tak bisa baca, percuma saja," kata Surjanto.
Kepala Divisi Statitoria Biro Klasifikasi Indonesia, Iqbal Fikri, pun memastikan pihaknya selalu menggelar pemeriksaan periodik pada kapal penumpang. Saat ini terdapat hampir 11 ribu kapal yang terdaftar oleh BKI. Berbeda dengan kapal logistik yang diperiksa setiap 2,5 tahun, kapal penumpang harus periksa berkala setiap setahun.
"BKI tidak berwenang memaksa inspeksi jika tak ada pengajuan, jadi harus ada kesadaran pemilik kapal yang sudah tahu jatuh temponya (jadwal pemeriksaan)," ujarnya pada Tempo.
Adapun Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Hary Tirto Djatmiko, memastikan informasi kondisi laut selalu sampai ke otoritas perkapalan melalui berbagai jalur komunikasi. "Setiap hari melalui fax dari kantor BMKG di pelabuhan, bahkan media sosial yang bahkan tergabung dengan kalangan nahkoda dan awak setempat," tuturnya.
Informasi yang disampaikan pun cukup lengkap untuk persiapan pelayaran, mulai dari suhu laut, arus, gelombang, hingga angin. "Tapi keputusan atau pertimbangan terakhir untuk berlayar ada pada syahbandar."
Direktur Perkapalan dan Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, Dwi Budi Sutrisno, mengatakan pihaknya akan lebih gencar meningkatkan bimbingan teknis terkait keselamatan pelayaran. "Dalam waktu dekat kami gelar seminar besar yang melibatkan banyak stakeholder, seperti Organisasi Maritim Internasional (IMO), Asosiasi Feri Dunia, Indonesian National Shipowners' Association (INSA), dan sebagainya," kata dia.
Dari pagu indikatif ditjen hubla sebesar Rp 12,8 triliun untuk 2019, terdapat alokasi 17 persen atau sekitar Rp 2,1 triliun untuk peningkatan keselamatan. Menurut Juru Bicara Ditjen Hubla, Gus Rional, anggaran itu ditangani tiga direktorat, yakni Dit Perkapalan dan Kepelautan, Dit Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, dan Dit Kenavigasian.