TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah akhirnya melampaui level psikologis yang dikhawatirkan yaitu 14.000. Pasalnya, level itu semakin mendekati titik terendah rupiah pada 25 September 2015 yang pernah menyentuh 14.693 per dolar AS, seperti dilansir oleh Bloomberg. Adapun pada perdagangan kemarin, rupiah tercatat melemah 0,36 persen menjadi 14.045 per dolar AS. Terpukulnya rupiah juga berdampak pada anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang kemarin ditutup melemah 1,88 persen ke level 5.774,72.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi kondisi pelemahan tajam kali ini hanya bersifat sementara. “Gejolak terasa agak lama karena Bank Indonesia tak kunjung menaikkan suku bunga acuan (7 Days Repo Rate), ekspektasi pasar bulan lalu ada kenaikan, ternyata tidak,” ujarnya, kepada Tempo, Selasa 8 Mei 2018. Dia melanjutkan, indikator makro ekonomi lain seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi domestik juga dalam kondisi fundamental yang stabil, sehingga menjadi sentiment positif untuk rupiah.
Piter berujar periode waktu pelemahan rupiah sangat bergantung pada respon kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia. “Selain tetap intervensi dengan berada di pasar, BI harus menenangkan pasar dengan menaikkan suku bunga, sebab sudah tidak ada ruang lagi,” katanya. Menurut dia, jika BI mengambil langkah tersebut, maka kurs diprediksi akan berbalik menguat, hingga ke level 13.700 per dolar AS. “Selisih suku bunga kita dengan The Fed juga semakin tipis kalau hanya diam saja.”
Simak: Waspadai Gejolak Kurs Rupiah
Ekonom senior Chatib Basri meyakini Bank Indonesia sudah berpengalaman menghadapi tekanan pasar seperti saat ini, dan tak akan lama-lama membiarkan rupiah terjerembab lebih dalam lagi. “Tapi mengenai timing kenaikan suku bunga, mereka yang paling tahu, karena harus mempertimbangkan banyak hal, seperti inflasi, tekanan pasar pasar, dan current account defisit,” ujarnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara pun menanggapi desakan untuk menaikkan suku bunga acuan. Mirza mengatakan lembaganya membuka peluang untuk menaikkan bunga pada rapat dewan gubernur yang akan berlangsung pertengahan bulan ini. “Kalau memang dari data-data dependent menunjukkan perlu menaikkan suku bunga, kami akan melakukan adjustment,” ucapnya. Dia menambahkan suku bunga negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Korea Selatan juga sudah meningkat lebih dulu.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution pun optimistis kurs rupiah akan kembali menguat. “Ya memang tembus 14.000, tapi memang seharusnya tidak bertahan di angka itu,” katanya. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta Bank Indonesia selaku otoritas moneter untuk segera mengambil langkah tepat, tak terkecuali menaikkan suku bunga acuan. “Sehingga jangan tiba-tiba naik terlalu cepat, kalau naik ya pelan-pelan,’ ujarnya.
Sementara itu, dari sektor riil, sejumlah pelaku usaha mulai kelimpungan dengan pergerakan rupiah yang tak terkendali. Sebab, bahan baku industri yang mayoritas berasal dari barang-barang impor jadi melonjak dengan semakin menguatnya dolar. “Kurs rupiah Ini harus terus dijaga, karena kalau bertahan di atas 14.000 kami mempertimbangkan untuk menaikkan harga barang,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Adhi Lukman. Sebaliknya, industri berbasis ekspor justru meraup untung di tengah kondisi dolar yang semakin perkasa.
GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS | VINDRY FLORENTIN