TEMPO.CO, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menyentuh Rp 14 ribu akan menguntungkan eksportir. Hal ini sekaligus bisa menjadi momentum untuk mendorong ekspor dan logistik nasional agar tidak kalah bersaing dengan negara lain.
"Dampak melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika akan membuat eksportir senang. Sebaliknya, importir agak menyulitkan karena impor pakai dolar, sementara menjual menggunakan rupiah, sehingga ada kenaikan harga jual," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno, di Jakarta, Selasa, 8 Mei 2018.
Baca: Indef: Pelemahan Rupiah Bisa Picu Kenaikan Harga Bawang Putih
Kadin bersama dengan Kementerian Perdagangan, kata Benny, juga akan terus melakukan negosiasi ke sejumlah negara untuk mempermudah bea masuk ke negara tujuan. "Saya perkirakan dengan adanya momen melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika, nilai ekspor bisa naik hingga 16 persen," tuturnya.
Benny menyampaikan hal itu saat mendampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meninjau pelabuhan logistik di Tanjung Priok. Ia menjadi pembicara Forum Ekspor 500 yang merupakan wadah silaturahmi antarpelaku utama dan pihak-pihak yang berkaitan dengan pengembangan ekspor nasional, yang difasilitasi oleh Kadin Indonesia.
Menurut Benny, Kadin akan merespons pelemahan rupiah ini dengan mendorong anggotanya meningkatkan ekspor berbagai komoditas nonmigas serta mendorong perbaikan logistik.
Sebab, tanpa adanya logistik yang baik, komoditas tidak bisa ekspor dan tidak bisa bersaing.
Terkait dengan sistem logistik yang terhubung dengan jasa pelayanan transportasi, Benny mengatakan pihaknya memiliki peran strategis menyinkronkan dan menyelaraskan kemajuan antarsektor ekonomi dan antarwilayah. Hal ini pada akhirnya bakal mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Saat ini biaya logistik di Indonesia rata-rata membutuhkan 25 persen dari hasil penjualan produk manufaktur. Hal tersebut berpengaruh buruk terhadap daya saing industri nasional.
Angka itu, menurut Bank Dunia, lebih tinggi daripada biaya logistik di Thailand sekitar 15 persen, ataupun di Malaysia dan Vietnam yang hanya 13 persen. Tingginya biaya logistik sektor manufaktur itu merefleksikan beberapa hal, antara lain pembatasan perdagangan, prosedur izin, dan kesenjangan infrastruktur. Permasalahan yang menimbulkan biaya logistik tinggi itu yang dinilai harus segera diselesaikan sembari memanfaatkan momentum pelemahan rupiah saat ini.
ANTARA