TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai persatuan pekerja di sektor swasta merasa tak diuntungkan oleh kebijakan penambahan cuti bersama Idul Fitri 2018 yang bersifat fakultatif, alias tidak wajib. Kebebasan bagi pengusaha untuk tidak menerapkan libur tambahan sebanyak tiga hari yang ditegaskan dianggap bisa memicu konflik antara manajemen perusahaan dan buruh kerjanya.
Juru bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan, Sherin Sarinah, mengatakan pekerja cenderung menuntut pemberian cuti sesuai surat keputusan bersama (SKB) yang diterbitkan pada 18 April lalu. Namun, pengusaha akan cenderung menolak karena potensi penurunan keuntungan.
"Kedua pihak bisa berselisih dalam bipartit," ujarnya pada Tempo, Senin 7 Mei 2018.
Menurut Sherin, mayoritas pekerja menginginkan tambahan cuti bersama untuk beristirahat. Kenaikan upah yang minim, kata dia, menciptakan ketergantungan buruh pada bayaran lembur. "Selalu overtime. Jam kerja aktual pekerja manufaktur saja 10-12 jam per hari," ujarnya sambil menambahkan ada lebih dari 17 juta buruh yang saat ini bekerja di sektor tersebut.
Adapun SKB disetujui tiga menteri menetapkan 11, 12, dan 20 Juni 2018 sebagai cuti bersama. Jika termasuk libur Lebaran pada 15-17 Juni dan empat hari cuti yang telah ditetapkan sebelumnya, total liburan menjadi 10 hari berturut-turut. Belakangan, pemerintah diprotes kalangan pengusaha hingga akhirnya menetapkan tambahan tiga hari tersebut sebagai aturan fakultatif.
Simak: Keputusan Cuti Bersama Lebaran Tetap 11 sampai 20 Juni 2018
Kebijakan cuti pun dianggap diskriminatif. Cuti lebaran pekerja swasta, ujar Sherin, dipotong dari cuti tahunan yang umumnya berkisar 12 hari sesuai Pasal 79 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun cuti aparatur sipil tak dipotong dari jatah tahunan sesuai PP No. 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
"Padahal lebih berisiko pekerja swasta, apalagi di manufaktur yang berhadapan dengan mesin-mesin produksi. Seharusnya disamakan tapi pengusaha pasti setuju karena rugi," ucap Sherin.
Ketua umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan perundingan alot akan terjadi pada perusahaan yang persatuan karyawannya kuat. Jika tidak, pengusaha dikhawatirkan membuat kebijakan sepihak. "Persetujuan pekerja formalitas belaka, sesuka hatinya pengusaha membuat aturan sendiri," ujarnya pada Tempo.
Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih, mengatakan pihaknya akan mendesak implementasi tambahan cuti bersama. "Jam kerja panjang akan membuat kelelahan berlebih, justru menghambat produktivitas," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri bidang Tenaga Kerja, Benny Soetrisno, di sisi lain, mengharapkan pemangkasan durasi libur yang dinilainya terlalu panjang. Libur massal, menurut dia, bisa membuat pembayaran pekerja oleh perusahaan naik tiga kali lipat.
"Sebaiknya libur tidak banyak. Sekarang adalah kompetisi sehingga daya saing harus di tingkatkan," tutur Benny pada Tempo, kemarin.
Ketum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani, meminta pemerintah tak sembarangan menambah cuti bersama. Dalam rapat di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 3 Mei lalu, dia mengaku mengusulkan pemberian cuti hanya pada H-2 dan H+2 untuk masa Lebaran berikutnya. "Tahun ini libur nasional kita saja sudah 16 hari," katanya.
Adapun Menaker Hanif Dhakiri meminta pemberian cuti bersama di sektor swasta mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan. Kemenker pun berencana menerbitkan edaran terkait hal teknis pemberian cuti. "Itu (keputusan soal cuti) harus berdasarkan kesepakatan dengan buruh, atau perjanjian kerja di perusahaan," kata Hanif.
YOHANES PASKALIS PAE DALE | LANI DIANA | YUSUF MANURUNG