INFO BISNIS - Untuk meningkatkan taraf hidupnya, masyarakat atau nasabah tidak hanya membutuhkan akses terhadap kepada pembiayaan semata. Nasabah juga membutuhkan pelatihan dan pendampingan untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya. Karena itulah, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) mengembangkan program Daya, yaitu sebuah program pemberdayaan yang berkelanjutan dan terukur untuk meningkatkan kapasitas hidup para nasabah.
Hal itu dinyatakan oleh Daya Head BTPN, Andrie Darusman dalam acara Ngobrol @Tempo yang digelar Rabu, 2 Mei 2018, di Jakarta. Acara yang diselenggarakan Tempo Media Group itu mengambil tema “Pemberdayaan UMKM Melalui Teknologi Digital” menghadirkan dua pembicara yang kompeten di bidang ini. Selain Andrie Darusman, talk show ini juga menampilkan CEO dan pendiri Javara Indigenous Indonesia, Helianti Hilman, dengan moderator Direktur tempo.co, Tomi Aryanto.
Baca Juga:
“Program pelatihan dan pendampingan Daya tidak terbatas pada masalah keuangan saja, tetapi juga berbagai kiat meningkatkan usaha, memperluas jaringan pemasaran, melayani pelanggan, hingga hal-hal seputar menjalani pola hidup sehat,” jelas Andrie.
Meskipun fokus utama BTPN adalah masyarakat berpendapatan rendah (mass market), yang terdiri dari pensiunan, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, serta komunitas prasejahtera produktif, bank ini konsisten melakukan inovasi melalui produk-produk baru berbasis digital. Ini tercermin dari penggunaan platform digital pada semua lini bisnisnya, termasuk program Daya.
Sejak akhir 2017 BTPN meluncurkan www.daya.id. Melalui situs ini, para nasabah, pelaku usaha mikro dapat mengakses beragam program pendampingan daya secara digital dan online. Misalnya, mengakses menu Pelatihan Online, berupa modul pelatihan praktis dalam bentuk video singkat dan slide presentasi dari para ahli, lalu menu Tanya Ahli yang diasuh juga oleh para ahli, serta menu Peluang Usaha yang berisi sumber informasi usaha waralaba. “Mulai dari peluang usaha waralaba dengan nilai investasi di bawah Rp 5 juta, sampai yang bernilai miliaran rupiah ada di sini,” ujar Andrie.
Baca Juga:
Pada kesempatan yang sama, pendiri Javara Indigenous Indonesia, Helianti Hilman juga sependapat, bahwa pendampingan usaha adalah hal yang amat dibutuhkan. Ia menceritakan pengalamannya, bahwa semula ia hanya berperan membukakan pintu pasar saja bagi para petani di berbagai daerah terpencil yang memiliki hasil bumi menarik, seperti padi berwarna pink, kacang panjang hitam, kopi khas, dan beragam rempah-rempah unik lain.
Namun, setelah ia mampu mendapatkan pasar, ternyata para petani penghasil produknya tak mampu menyetorkan hasil panennya. Alasannya, gagal panen karena musibah, dan sebagainya. Sejak itulah, ia langsung terjun untuk melakukan pembinaan, pelatihan dan pendampingan bagi para mitra petani di berbagai daerah.
Dengan langkah itu, usahanya meningkat tajam. Dari semula hanya membina sekitar 10 petani dengan 8 jenis produk, kini ia telah memberdayakan 52.000 petani dengan lebih dari 800 jenis produk. Produk-produk organik yang unik ini pun kini bisa diakses secara online di berbagai situs.
Pangsa pasar utamanya, adalah ekspor, terutama ke Swiss, Amerika Serikat dan Jepang. “Pada 2011 komposisi (penjualan) kami hampir 90 persen ekspor dan hanya 10 persen yang ke pasar domestik,” ungkap Helianti.
Kunci suksesnya, kata Helianti adalah sumber daya manusia yang baik, sehingga mampu menjaga standar kualitas produk. Para petani, pelaku usaha mikro, harus diberi pelatihan, pendampingan dan pemberdayaan secara penuh. Bahkan, ia juga membina mereka untuk bisa menjadi entrepreneur yang sesungguhnya, yang bisa benar-benar menjual sendiri produknya tanpa bantuan pihak lain.(*)