TEMPO.CO, Jakarta - Tempe, penganan berbahan dasar kedelai, akan didaftarkan sebagai warisan budaya dunia ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)Unesco) pada 2021. Sebekumnya, tempe diterima sebagai warisan budaya nasional di Indonesia.
Ketua Forum Tempe Indonesia, Made Astawan mengatakan sebelum diusulkan menjadi warisan budaya dunia di Unesco, tempe harus terlebih dahulu diterima dan diakui sebagai warisan budaya nasional. Sejak beberapa tahun lalu, FTI terus berupaya memperjuangkan tempe untuk bisa go international.
"Kita harus bersyukur bahwa tempe baru saja diterima dan ditetapkan Indonesia sebagai warisan budaya nasional pada Oktober tahun lalu sehingga siap untuk maju ke UNESCO pada 2021 untuk mendapat pengakuan," katanya di sela-sela Soy Insight - 13th SE-Asia Soy Food Symposium, Selasa, 20 Maret 2018).
Dia menjelaskan apabila tempe masuk dalam UNESCO, diyakini dapat menggairahkan masyarakat Indonesia terutama kaum muda yang kreatif dalam mengembangkan produk tempe beserta inovasinya.
Tempe Kaleng Magelang. bisnis.com
"Seperti halnya batik yang akhirnya diterima UNESCO pada 2009. Dampaknya anak muda sekarang tanpa malu pakai batik bahkan dimodifikasi," katanya.
Dia berharap, ke depan anak muda pun tidak malu-malu lagi makan tempe karena tempe diterima di dunia, dan selalu dihidangkan di setiap sudut tempat seperti hotel, restoran, bahkan sekarang ini sudah kerap dijadikan menu makanan di dalam penerbangan hingga ekspor dan diterima oleh 20 negara seperti Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Made menambahkan, syarat untuk maju ke UNESCO cukup berat, salah satunya dokumen harus lengkap. Namun dirinya yakin tempe Indonesia bisa diterima meski negara lain ada juga yang mengajukan tempe.
"Kami yakin Indonesia yang diterima, karena kami punya bukti yang kuat, ada di buku serat chentini yang menunjukkan bahwa tempe sudah dikenal sejak abad ke-16," katanya.
Ke depan, lanjutnya, masyarakat Indonesia harus mau mencoba dan belajar memproduksi tempe dengan cara yang higienis agar mampu memenuhi standar internasional dan dapat diterima pasar dunia.
"Bikin tempe itu gampang dan tidak mahal, tapi kalau memenuhi standar itu yang sulit. Jadi kita harus memperbaiki cara produksi, misal harus cuci tangan, pakai sarung tangan, tidak pakai drum bekas lagi tapi pakai stainless steel," katanya.
Ngadinem Sansuwito, warga negara Indonesia di Yunani, berjualan tempe untuk menambah penghasilan di tengah krisis negeri itu. Foto: Istimewa
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Agustinus Ngadiman mengatakan tempe sudah sangat layak menjadi warisan budaya dunia karena keberadaannya di Indonesia punya bukti dan sejarah panjang.
"Di Jawa, tempe selalu digunakan sebagai simbol sebuah tradisi misalnya di Yogyakarta dan Sleman sebagai bagian tumpeng atau makanan untuk memperingati hari kematian saudaranya, untuk kenduri," katanya.
Selain daerah di Jawa Tengah, di Jawa Timur pun yang masih daerah Matraman seperti Madiun, Ponorogo, Pacitan dan Trenggalek juga masih kental dengan tradisi yang mengikutkan unsur tempe.
Meski hanya sekitar 30 persen bahan baku tempe atau kedelai dihasilkan petani dalam negeri dan 70 persen diimpor, tapi tidak membedakan rasa tempe. Ngadiman berharap pemerintah peduli terhadap warisan budaya ini, salah satunya meningkatkan produksi kedelai lokal agar tidak ketergantungan dengan impor.