TEMPO.CO, Denpasar - Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali mengidentifikasi 44 usaha di daerah setempat menerima mata uang virtual dalam melakukan transaksi, di antaranya menggunakan Bitcoin. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Causa Iman Karana menyebutkan 44 usaha tersebut bergerak di bidang perhotelan, jasa sewa kendaraan, kafe, hingga paket wisata.
Hasil tersebut didapatkan setelah tim dari bank sentral di Bali itu melakukan survei ke sejumlah lokasi berdasarkan informasi dari masyarakat dan informasi yang berkembang di media sosial. "Kami temukan saat ini jumlahnya ada 44 tetapi kami perkirakan mungkin bisa lebih dari itu," kata Causa, Selasa, 30 Januari 2018.
Baca: Saingi Bitcoin, Nilai Aladin Coin Diyakini Akan Tembus Rp135 Juta
Setelah tim tersebut mendatangi langsung pelaku usaha itu, kata Causa, sebagian besar di antaranya mengaku sudah menghentikan praktik pembayaran dengan mata uang digital. Pihaknya akan tetap mengawasi pelaku usaha yang mengaku sudah menghentikan mata uang virtual. Namun masih ada dua usaha yang salah satunya kafe di kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar, yang diindikasikan masih menerima mata uang virtual sebagai sistem pembayaran.
Saat ini, bank sentral masih memberikan peringatan berupa teguran dan memberikan ruang untuk memperbaiki diri kepada pelaku usaha tersebut untuk tidak menggunakan mata uang virtual sebagai sistem pembayaran. Tapi jika masih ditemukan melakukan praktik tersebut, maka Bank Indonesia akan menggandeng kepolisian untuk menindak tegas.
Bitcoin, kata Causa, merupakan satu dari lima besar mata uang virtual di dunia seperti ethereum, ripple, bitcoin cash dan cardano dari total jumlahnya mencapai sekitar 1.300 mata uang digital. Bank Indonesia telah melarang mata uang virtual karena tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalam aturan itu, mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah. Sementara BI menilai mata uang virtual berisiko dan sarat akan spekulasi.
Mata uang virtual dinilai bank sentral berisiko karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat dasar yang mendasari harga mata uang virtual itu serta nilai perdagangan sangat fluktuatif. Akibatnya, mata uang virtual--salah satunya Bitcoin--rentan terhadap risiko penggelembungan serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
ANTARA