TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Kharis Almasyhari mengatakan pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran sampai saat ini masih tertahan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Alhasil, draf RUU pun belum dibacakan di rapat paripurna untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran.
"Sudah tertahan 12 bulan," kata Abdul saat dihubungi Tempo di Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018. Menurut dia, draf ruu sendiri sudah disepakati dan diserahkan Komisi Penyiaran ke Baleg sejak awal Februari 2017 lalu.
Simak: Pengamat: Pembahasan RUU Penyiaran Sarat Kepentingan Politik
Pembahasan RUU ini, kata Abdul, baru bisa dilakukan Komisi Penyiaran dan pemerintah setelah disepakati di paripurna atau pengambilan keputusan tingkat I. Setelah itu, RUU pun kembali dibacakan di paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat II, agar menjadi Undang-Undang. Abdul menyadari proses RUU ini masih cukup panjang, "jadi masih ada dua paripurna lagi baru menjadi Undang-Undang."
Hingga hampir 12 bulan sejak diserahkan, Baleg DPR memang belum mencapai kata sepakat terhadap RUU inisiatif dari dewan ini. Pasalnya, sejumlah usulan kembali mencuat dalam rapat baleg, salah satunya terkait penerapan sistem penggunaan frekuensi untuk penyiaran atau multipleksing yang disingkat sebagai mux.
Perdebatan muncul terkait penerapan single mux atau multi mux. Pada single mux, penggunaan frekuensi sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Sebaliknya pada multi mux, penggunaan berada di banyak pemegang lisensi, swasta hingga pemerintah. Di tengah pembahasn, muncul juga usulan penerapan hybrid, atau pembagian jatah frekuensi antara pemerintah dan swasta.
Abdul menuturkan bahwa dalam draf RUU, Komisi Penyiaran sudah menyepakati penggunaan single mux. Namun ia menyadari ada pandangan lain yang muncul, saat diharmonisasi di Baleh. "Saya gak berhak ngomong ke Balegnya, yang jelas di Komisi I (Penyiaran) itu single mux," ujarnya.
Namun ia menyampaikan, bahwa perdebatan soal draf RUU Penyiaran tidak semata hanya penggunaan frekuensi. Namun masih terdapat persoalan lainnya yang membuat pembahasan RUU jalan di tempat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga menyampaikan bahwa setidaknya ada enam isu strategis dalam RUU Penyiaran. Selain persoalan frekuensi, masih ada lima isu lain seperti peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), izin penyiaran oleh Kominfo, penyiaran digital, lembaga penyiaran publik, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) Penyiaran, hingga penyaluran konten siaran melalui internet.
Juni 2017, Kominfo mendesak agar draf RUU bisa segera dirampungkan menjadi RUU agar bisa dibahas bersama Komisi Penyiaran. Namun hingga saat ini, draf RUU pun tak kunjung selesai di Baleg, karena perwakilan fraksi belum mencapai kata sepakat.