TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) memastikan penenggelaman kapal pencuri ikan tetap dilakukan. Hal ini tetap berjalan meski Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ditegur oleh Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Syarief Widjaja membeberkan sejumlah pertimbangan untuk tidak menggunakan kapal tersebut untuk keperluan lainnya.
"Indonesia terikat dengan aturan di RFMO (Regional Fisheries Management Organisation)," kata Syarief saat ditemui di Gedung Mina Bahari IV, KKP, Jakarta, Kamis, 11 Januari 2018. RFMO sendiri adalah sebuah organisasi internasional yang memiliki ikhtiar menjaga keberlangsung sumber daya perikanan di kawasan tertentu. Indonesia menjadi anggota RFMO sejak tahun 2014.
Menurut dia, RFMO telah memiliki aturan terkait kapal-kapal yang pernah melakukan tindak pidana perikanan, seperti penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan hingga bom ikan. Jika kapal tersebut tertangkap, maka negara tidak bisa mengoperasikan kembali kapal tersebut. "Silahkan dipakai tapi tidak untuk menangkap ikan, karena pada kapal tersebut, sudah melekat kejahatan sebelumnya."
Wacana untuk pemanfaatan kembali kapal pencuri ikan yang disita, pertama kali dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandajitan. Daripada menenggelamkan kapal tersebut, Luhut meminta Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyerahkannya ke nelayan untuk digunakan kembali.
Tak cukup disitu, Ia juga tegas meminta Susi Pandjaitan berhenti menenggelamkan kapal asing pancuri ikan untuk tahun ini. Luhut beralasan penghentian penenggelaman kapal dilakukan agar pemerintah bisa fokus menggejot produksi ikan. Susi tampak tak menggubris permintaan dari Luhut dengan menyatakan bahwa penenggelaman kapal sudah diatur dalam Undang-Undang.
Alasan kedua, kata Syarief, adalah karena kapal-kapal pencuri ikan yang berhasil disita, rata-rata memiliki bentuk yang berbeda. Tak hanya soal teknologi yang digunakan, ujarnya, petunjuk penggunaan di dalam kapal banyak menggunakan bahasa negara asalanya. "Mana koplingnya gadang gak tau, manual guide pakai bahasa Cina, yang nelayan lokal tentu gak bisa menggunakannya," kata Syarief.
Alasan ketiga adalah banyaknya kapal-kapal sitaan yang kemudian rusak karena menunggu lamanya waktu proses di pengadilan. Dalam ketentuannya, sebuah kapal memang baru bisa diputuskan nasibnya setelah ada keputusan pengadilan yang tetap (inkrah). "Kadang proses di pengadilan sampai dua tahun, ya keburu rusak juga," ujarnya.