TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan harga bahan bakar minyak jenis pelayanan masyarakat (public service obligation/PSO), khususnya Premium yang dijalankan oleh PT Pertamina (Persero). Harga minyak dunia yang terus naik membuat penjualan Premium saat ini sudah jauh di bawah harga keekonomiannya.
“Ini cuma tinggal menunggu waktu kapan tekornya dan kapan macetnya," ujar Komaidi kepada Tempo, Selasa, 26 Desember 2017. "Pas macet itu yang berbahaya.”
Saat ini harga keekonomian bensin beroktan rendah itu mencapai Rp 7.250 per liter. Bahkan, di wilayah Indonesia timur, ongkos produksi Premium mencapai Rp 8.250 per liter.
Baca: Dirut Pertamina Klarifikasi Isu Kerugian Rp 12 Triliun
Besaran ini sudah naik ketimbang harga keekonomian Premium per September lalu yang sebesar Rp 7.100 per liter. Kenaikan ini sejalan dengan naiknya harga minyak mentah dunia.
Saat perdagangan dibuka pada Januari lalu, harga minyak yang diperdagangkan di Pasar Brent, Inggris, mencapai US$ 54,58 per barel. Sementara itu, dalam perdagangan terakhir 22 Desember kemarin, minyak dihargai US$ 65,04 per barel.
Pertamina saat ini masih menjual Premium dengan harga Rp 6.450 di luar Jawa, Madura, dan Bali. Angka ini tidak berubah sejak 2016 saat minyak dunia masih berkisar US$ 45 per barel. Pertamina menanggung kerugian penjualan ini karena Premium bukan termasuk bahan bakar minyak bersubsidi. Subsidi yang diberikan pemerintah hanya untuk bahan bakar jenis solar.
Jika harga tidak direvisi, Komaidi memperkirakan defisit penjualan Premium Pertamina akan mencapai Rp 1.000 per liter. Jika dikali dengan penjualan Premium per kuartal III lalu sebesar 5,49 juta kiloliter, kerugian perseroan akan mencapai Rp 5,49 triliun. “Bisnis tidak bisa seperti ini. Harus dibiasakan sesuai dengan kaidah korporasi.”
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan kebijakan pemerintah untuk menahan harga Premium membuat pendapatan bersih perusahaan pada kuartal III tahun ini terpangkas dari US$ 3,05 miliar menjadi US$ 1,09 miliar. Torehan laba bersih juga melorot dibanding pada periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 2,83 miliar.
“Kalau kami dapat sesuai ketentuan, nett profit kami sudah US$ 3 miliar. Tapi kan kami milik pemerintah, kami juga menerima penugasan,” kata Massa Manik.