TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyepakati anggaran proyek kereta ringan (light rail transit-LRT) Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek) sebesar Rp 29,9 triliun. Angka ini dikoreksi dari rencana sebelumnya yang menyebutkan besaran anggaran Rp 31 triliun.
“Kami sampaikan bahwa pembiayaan proyek LRT ini menelan biaya sebesar Rp 29,9 triliun,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan setelah memimpin rapat koordinasi dengan Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara di kantornya, Jakarta, pada Jumat, 8 Desember 2017.
Baca: Sekretaris BUMN: LRT dan Kereta Cepat Tak Lewati Meikarta
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan proyek itu akan dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia dan PT Adhi Karya Tbk. KAI dan Adhi Karya bakal menanggung pembiayaan, masing-masing Rp 25,7 triliun dan Rp 4,2 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, sebagian biaya itu digelontorkan pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN). Dia mengatakan Adhi Karya telah menerima PMN sebesar Rp 1,4 triliun pada 2015, sedangkan KAI akan menerima dana itu setelah financial closing yang ditargetkan selesai akhir tahun ini.
Skema yang ada, kata Sri Mulyani, PT Adhi Karya telah mendapatkan PMN di tahun 2015 sebesar Rp 1,4 triliun. "Kemudian right issue plus harus investasi di dalam pembangunan dengan balanced sheet mencapai Rp 4,2 triliun. KAI dapat PMN Rp 7,6 triliun dan akan meminjam Rp 18,1 triliun,” ucapnya.
Sri Mulyani mengatakan skema ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017. KAI sebagai penyelenggara sarana dan prasarana serta pemegang konsesi operasional LRT Jabodebek, sedangkan Adhi Karya sebagai penyedia prasarana dan depo.
Adhi Karya, kata Sri Mulyani, akan melakukan pembangunan prasarana dan investasi depo. "KAI sebagai pemegang konsesi untuk menjalankan operasi dan kontraktor sarana. Itu porsinya,” ujar Sri Mulyani.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan kementeriannya akan menyiapkan peraturan terkait yang diperlukan untuk pengelolaan moda transportasi massa ini nantinya. Budi mengatakan skema semacam ini akan digunakan di sejumlah tempat, di antaranya Surabaya, Sulawesi Selatan, dan Bandung.
Kemenhub, menurut Budi Karya, akan mempersiapkan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan dilakukannya operasi atau pengelolaan. "Sekarang memang BUMN tapi bukan tidak mungkin nanti ada kolaborasi dengan BUMD atau swasta,” ujarnya.
Sedangkan Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan skema pembiayaan tersebut sangat baik. Rini sebelumnya mengusulkan dibentuknya usaha patungan (joint venture) untuk pembiayaan proyek sebab khawatir ihwal anggaran yang membengkak.
Biasanya, kata Rini, untuk membiayai proyek besar seperti LRT ini menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). "Dengan struktur yang sekarang kombinasi antara APBN, PMN, pembiayaan komersial, dan mendapatkan dukungan dari Kemenkeu sehubungan dengan penjaminan. Ini menurut saya sangat baik,” ujar Rini.
Baik Luhut dan Sri Mulyani sama-sama menegaskan bahwa joint venture itu tidak akan dibentuk. “Tidak ada JV. Sudah jelas strukturnya yang di-guarantee itu KAI. Tidak bisa pemerintah meng-guarantee nonpemerintah,” kata Luhut.