TEMPO.CO, Sragen - Pemerintah Kabupaten Sragen berupaya mencari investor di bidang pascapanen pertanian bawang merah. Para petani tersebut telah mengembangkan pertanian bawang merah selama tiga tahun terakhir.
“Sudah ada lahan seluas 160 hektar yang ditanami bawang merah,” kata Kepala Dinas Pertanian Sragen Eka Rini Mumpuni Titi Lestari kepada Tempo, Sabtu 9 September 2017. Hasil panen sudah dinilai cukup bagus dan memuaskan.
Dinas Pertanian, menurutnya, memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan komoditas pertanian tersebut. Selain itu, Bank Indonesia juga memberikan pendampingan kepada petani komoditas yang kerap menyumbang inflasi itu.
Eka menyebut bahwa petani selama ini selalu menjual hasil panennya dalam kondisi segar. “Hal ini yang membuat harganya sering jatuh saat panen raya,” katanya.
Para petani bawang membutuhkan sistem pergudangan yang mampu digunakan untuk menyimpan bawang lebih lama. Tujuannya agar petani bisa mengatur stabilitas harga melalui manajemen stok yang lebih baik.
“Hanya saja kami terkendala masalah beaya dan teknologi,” katanya. Pihaknya membuka pintu bagi investor yang mampu menyediakan sarana untuk pascapanen itu.
Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Sragen Suratno mengatakan bahwa harga komoditas itu sering jatuh saat musim panen. “Petani membutuhkan sistem penyimpanan untuk mengatur stok yang dijual,” katanya.
Menurutnya, petani baru bisa menutup beaya produksi saat harga bawang di tingkat petani mencapai Rp 15 ribu per kilogram. “Idealnya harga sekitar Rp 17 ribu sekilo,” katanya. Dengan harga tersebut, harga bawang di tingkat konsumen berada di kisaran Rp 25 ribu per kilo.
Namun, selama ini banyak petani yang terpaksa menjual hasil panen bawang merah seharga Rp 12 ribu sekilo. Padahal, harga bibit bawang merah mencapai harga Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram.