Turun dari 2016, Ekonomi Asia Pasifik Akan Tumbuh 5,7 Persen

Reporter

Kamis, 6 April 2017 18:40 WIB

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. shutterstock.com

TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik pada 2017 mencapai 5,7 persen. Menurut Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada, angka tersebut turun dibandingkan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik 2016 yang mencapai 5,8 persen.

Yasuyuki mengatakan, pertumbuhan ekonomi Asia didorong oleh meningkatnya permintaan eksternal dan membaiknya harga komoditas. Faktor-faktor tersebut menjadikan Asia sebagai kontributor pertumbuhan terbesar bagi ekonomi global, yakni sebesar 60 persen.

“Asia yang sedang berkembang terus mendorong perekonomian global meskipun kawasan ini menyesuaikan dengan perekonomian Tiongkok yang saat ini lebih didorong oleh konsumsi dan terancam risiko global,” kata Yasuyuki dalam risetnya, Kamis, 6 April 2017.

Baca: Risiko Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menurut ADB

Yasuyuki menilai, walaupun terdapat ketidakpastian dalam perubahan kebijakan di negara-negara maju, fundamental perekonomian sebagian besar negara-negara di Asia siap untuk menghadapi potensi terjadinya guncangan jangka pendek.

Perekonomian negara yang berbasis industri, menurut Yasuyuki, menguat dengan pertumbuhan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang yang diprediksi mencapai 1,9 persen pada 2017. Ekonomi AS akan didorong oleh meningkatnya keyakinan konsumen serta menurunnya pengangguran.

Namun, Yasuyuki menilai, masih terdapat risiko ketidakpastian arah kebijakan ekonomi AS. "Eropa terus menguat tapi sedikit terganggu akibat Brexit. Sementara Jepang masih bergantung pada kemampuannya mempertahankan pertumbuhan ekspor agar bisa ekspansi."

Baca: ADB Jelaskan Mengapa Ekonomi Indonesia Terus Tumbuh

Risiko lainnya di Asia, menurut Yasuyuki, adalah kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate. Hal itu dinilai akan mempercepat aliran modal keluar. "Meskipun risiko ini agak berkurang oleh melimpahnya likuiditas di kawasan ini," katanya.

Yasuyuki berujar, efek dari pengetatan kebijakan moneter AS akan terjadi perlahan. Negara dengan nilai tukar fleksibel dapat mengaiami depresiasi mata uang yang lebih dalam. "Untuk negara dengan nilai tukar yang dikontrol pemerintah cenderung kurang terpengaruh," tuturnya.

Di sisi domestik, menurut Yasuyuki, kenaikan utang di beberapa negara juga meningkatkan risiko. Dia menyarankan agar mereka mengatasi risiko itu kebijakan makro yang hati-hati. "Seperti pengetatan debt-to-income ratio untuk pinjaman," katanya.

ANGELINA ANJAR SAWITRI

Berita terkait

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

17 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

3 hari lalu

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.

Baca Selengkapnya

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

5 hari lalu

Menhub Budi Karya Sebut Bandara Panua Pohuwato akan Tingkatkan Perekonomian Gorontalo

Menteri Perhubungan atau Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan Bandara Panua Pohuwato menjadi pintu gerbang untuk mengembangkan perekonomian di Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

6 hari lalu

Sri Mulyani Pakai Kain Batik pada Hari Terakhir di Washington, Hadiri 3 Pertemuan Bilateral

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenakan kain batik pada hari terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat, 21 April kemarin.

Baca Selengkapnya

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

10 hari lalu

Apa Kata Pengamat Ekonomi jika Konflik Iran-Israel Berlanjut bagi Indonesia?

Konflik Iran-Israel menjadi sorotan sejumlah pengamat ekonomi di Tanah Air. Apa dampaknya bagi Indonesia menurut mereka?

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Temui Presiden ADB di AS, Bahas Transisi Energi dan Pensiun Dini PLTU Batu Bara

11 hari lalu

Sri Mulyani Temui Presiden ADB di AS, Bahas Transisi Energi dan Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Dalam pertemuan itu, keduanya membahas kelanjutan kerja sama transisi energi dan uji coba pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga batu bara.

Baca Selengkapnya

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

12 hari lalu

Imbas Serangan Iran ke Israel, Pemerintah akan Evaluasi Anggaran Subsidi BBM 2 Bulan ke Depan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons soal imbas serangan Iran ke Israel terhadap harga minyak dunia. Ia mengatakan pemerintah akan memonitor kondisi selama dua bulan ke depan sebelum membuat keputusan ihwal anggaran subsidi bahan bakar minyak atau BBM.

Baca Selengkapnya

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

12 hari lalu

Airlangga Siapkan Antisipasi Imbas Tekanan Serangan Iran ke Israel Terhadap Perekonomian RI

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi soal imbas serangan Iran ke Palestina terhadap perekonomian Indonesia.

Baca Selengkapnya

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

13 hari lalu

Menko Perekonomian Airlangga Sebut Bakal Lakukan Antisipasi Imbas Serangan Iran ke Israel

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut bakal melakukan antisipasi imbas serangan Iran ke Israel agar perekonomian tidak terdampak lebih jauh.

Baca Selengkapnya

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

17 hari lalu

ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik Mencapai 4,9 Persen Tahun Ini, Apa Saja Pemicunya?

ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik bakal mencapai angka rata-rata 4,9 persen pada tahun ini.

Baca Selengkapnya