Wajib pajak mengantre sebelum dipanggil menuju bilik tax amnesty di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 31 Maret 2017. Berdasarkan data terakhir DJP Kemenkeu, total harta yang terkumpul dalam pagelaran tax amnesty mencapai Rp4.749 triliun. Harta tersebut terbagi atas deklarasi dalam negeri sebesar Rp3.571 triliun, deklarasi luar negeri Rp1.032 triliun, dan repatriasi Rp146 triliun, serta uang tebusan Rp111 triliun. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Pasca berakhirnya program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 31 Maret lalu, pemerintah diminta untuk melakukan reformasi mendasar terhadap regulasi perpajakan untuk mendongkrak penerimaan ke depan. “Agenda penting dari reformasi itu antara lain menyederhanakan peraturan-peraturan perpajakan yang terlalu rumit,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Minggu, 2 April 2017.
Faisal mengatakan upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak perlu diikuti dengan sistem pembayaran pajak yang sederhana dan memudahkan wajib pajak (WP) dalam melaporkan dan membayar pajak. Di sisi lain, revisi Undang-Undang Perpajakan yang saat ini masuk dalam program legislasi nasional di DPR juga harus menyentuh penegakan hukum bagi WP yang tidak membayar pajak atau tidak melaporkannya sesuai ketentuan.
“Hal itu perlu ditunjang oleh perbaikan sistem pemantauan terhadap profil WP secara keseluruhan,” katanya. Faisal mencontohkan otoritas pajak di Afrika Selatan yang tidak segan-segan menyita aset WP yang terindikasi melakukan penipuan dalam pelaporan pajak. Hanya dengan langkah-langkah itu pertumbuhan jumlah WP hasil dari amnesti pajak akan diikuti dengan peningkatan kepatuhan pajak.
CORE Indonesia mencatat dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan WP terdaftar mampu mencapai 9 persen. Namun di saat yang sama pertumbuhan tingkat kepatuhan para WP hanya 7 persen. Selanjutnya, Faisal menuturkan pemerintah perlu mengoptimalkan upaya penggalian penerimaan pajak dari jenis-jenis pajak potensial. Misalnya penerimaan dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 5/29 orang pribadi yang masih sangat rendah yaitu berkontribusi satu persen terhadap total penerimaan pajak.
Faisal menjelaskan rasio keseluruhan PPh terhadap PDB Indonesia yang hanya 0,94 persen juga masih yang terendah jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara ASEAN lain. Adapun rasio PPh terhadap PDB Vietnam mencapai 8,8 persen, Thailand 8,1 persen, dan Malaysia 2,3 persen. “Padahal dibandingkan jenis pajak lainnya, mendorong peningkatan PPh sangat baik untuk menekan ketimpangan antar golongan pendapatan dalam masyarakat,” katanya. Sebab, tarif PPh bersifat progresif atau meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan seseorang atau badan, sedangkan pajak lain seperti pajak pertambahan nilai (PPN) cenderung regresif.
Selain PPh, Faisal berujar pemerintah juga dapat menggali potensi penerimaan pajak dari aktivitas pembangunan infrastruktur yang tengah digalakkan saat ini. Di antaranya pengenaan PPh pasal 22 barang impor bagi barang impor yang digunakan untuk membangun infrastruktur, pengenaan PPh pasal 23 untuk jasa konstruksi, dan pengenaan PPh pasal 26 untuk proyek infrastruktur yang menggunakan jasa konsultan asing.