Masa aksi mekakukan teaterikal di depan kantor perwakilan PT Freeport Indonesia di Jakarta, 24 Februari 2017. PT Freeport Indonesia (PT FI) yang tidak kooperatif dengan menolak mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) benar-benar melewati batas. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan Indonesia berpeluang besar menang melawan PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, jika harus beradu di arbitrase internasional. "Peluang pemerintah 70 persen sementara Freeport 30 persen," katanya di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 25 Februari 2017.
Freeport mengancam menggugat ke arbitrase karena menilai pemerintah telah memutus kontrak secara sepihak. Pasalnya, pemerintah mewajibkan pemegang kontrak karya (KK) untuk berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), melepas saham sebesar 51 persen kepada Indonesia dan membangun smelter untuk bisa mengekspor konsentrat.
Fahmy mengatakan keputusan pemerintah yang meminta perubahan KK sudah sesuai undang-undang. Aturan perubahan dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan pemerintah menetapkan aturan tersebut bukan tanpa alasan. Selama ini, Freeport dinilai lalai menjalankan kewajiban dalam kontrak. Jika dibawa ke badan arbitrase, kelalaian tersebut bisa jadi kelemahan Freeport.
Redi mengatakan Freeport tidak kunjung selesai membangun smelter. Padahal pemerintah telah memberikan waktu kepada perusahaan asal Amerika tersebut untuk membangun smelter selama lima tahun, yaitu sejak 2009 hingga 2014.
"Divestasi saham juga belum dilakukan sepenuhnya," kata Redi. Ia mengatakan Freeport berkewajiban membagi sahamnya sebesar 51 persen sesuai KK pada 1991. Namun hingga pemerintah menerapkan batasan divestasi menjadi 30 persen, kewajiban tersebut belum kunjung dipenuhi hingga saat ini.
Namun Fahmy mengatakan ada satu titik lemah pemerintah. Kelemahan tersebut berupa surat perjanjian investasi yang diteken mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada 7 Oktober 2015.
Salah satu poin dalam surat tersebut menyatakan PT Freeport Indonesia dapat terus melanjutkan kegiatan operasi sesuai dengan kontrak karya hingga 30 Desember 2021.
"Ini jadi titik lemah yang akan digunakan Freeport," kata Fahmy. Menurut dia, surat dari Sudirman tersebut dianggap Freeport sebagai jaminan perpanjangan yang berpengaruh signifikan untuk perusahaan.