2019, Tarif Pajak Penghasilan Diprediksi Turun
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Rabu, 8 Februari 2017 08:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) yang sekaligus menjadi rangkaian reformasi perpajakan melalui instrumen undang-undang diprediksi tak akan terealisasi pada tahun ini. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan hal ini paling cepat bisa direalisasi pada 2019.
“Tahun ini, kami fokus membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan revisi Undang-Undang Perbankan,” kata dia, Selasa 7 Februari 2017.
Baca: Kredit Infrastruktur BNI Tahun Lalu Rp 86,3 Triliun
Berdasarkan aturan, menurut Andreas, Dewan tak memperbolehkan suatu komisi membahas lebih dari dua undang-undang dalam setahun. Meskipun besar kemungkinan revisi KUP tak terkejar tahun ini, antrean revisi undang-undang Komisi Keuangan menyasar revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Selain itu, menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, pada 2018, produktivitas Dewan tak akan bisa diharapkan.
“Tahun ini sudah pemanasan pemilu. Tahun depan anggota Dewan pasti akan fokus di daerah pemilihan masing-masing,” kata dia. Namun, kata Andreas, bukan berarti Dewan akan nonproduktif tahun depan. Menurut dia, perlu ada lobi yang kuat dari pemerintah agar pembahasan lancar, seperti revisi KUP dibarengi dengan revisi beleid perpajakan lainnya.
Baca: Bantuan Non Tunai ke 1,4 Juta Keluarga Mulai Disalurkan
Dia merujuk pada pembahasan Undang-Undang Amnesti Pajak yang kelar dalam sebulan.
Revisi Undang-Undang PPh merupakan satu dari rentetan agenda revisi Undang-Undang Perpajakan. Selain PPh, KUP, PNBP, dan pajak pertambahan nilai (PPN), pemerintah bersama parlemen berencana merevisi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.
Pemerintah mewacanakan penurunan tarif PPh untuk meningkatkan daya saing dalam negeri di tengah persaingan global. PPh badan, misalnya, saat ini bertarif 25 persen, memiliki selisih 8 persen dari tarif di Singapura.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo memprediksi akan sulit bagi pemerintah untuk selalu mengandalkan revisi undang-undang di bidang perpajakan. Menurut dia, Kementerian Keuangan masih bisa berinovasi melalui instrumen peraturan pemerintah atau peraturan menteri keuangan.
“Seperti waktu menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak tahun lalu yang sukses mendorong daya beli,” tutur Yustinus.
Yustinus berujar kecilnya tarif tak melulu menjadi rujukan. Negara maju, kata dia, tak sedikit yang mematok pajak tinggi, tapi tetap berdaya saing tinggi. “Semoga tim ini tak fokus terhadap digitalisasi pelayanan saja,” kata Yustinus.
Integritas dan pelayanan pajak merupakan hal yang dituntut kalangan pengusaha. Salah satu narasumber ahli tim reformasi perpajakan, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pengusaha siap membantu pemerintah agar tarif PPh turun.
“Kami siap memberi masukan, tapi hak kami seperti restitusi jangan dilupakan,” kata Hariyadi, yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Lantaran baru dibentuk, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belum bisa menyampaikan apa pun mengenai reformasi perpajakan hingga Maret mendatang. “Proyeksi kredit yang tinggi tahun ini bisa menjadi momentum untuk mendatangkan investasi penanam modal asing,” kata Sri.
ANDI IBNU | DESTRIANITA