Fintech Butuh Sumber Dana Sebesar Rp1.035 triliun
Editor
Saroh mutaya
Selasa, 20 September 2016 23:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Financial technology atau fintech khususnya peer to peer lending diharapkan mampu memanfaatkan lebih banyak sumber dana luar negeri guna mengisi kesenjangan kebutuhan pembiayaan nasional yang mencapai Rp1.035 triliun.
Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjelaskan kehadiran fintech memiliki peluang besar untuk mengisi celah kebutuhan pembiayaan dalam negeri tersebut.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya, layanan inovatif tersebut diyakini mampu menjangkau lebih banyak masyarakat Indonesia guna meningkatkan tingkat inklusi layanan keuangan. Apalagi, kendala distribusi pembiayaan yang belum merata di 17.000 pulau terkait dengan aksesibilitas layanan jasa keuangan.
“Fintech bisa diarahkan untuk meningkatan inklusi di Indonesia Timur yang selama ini paling rendah,” ujarnya di sela-sela seminar bertajuk Empowering Financial Inclusion Through Financial Technology, Senin (19 September 2016).
Guna merealisasikan hal tersebut Hendrikus mengatakan fintech perlu memanfaatkan sumber dana dari luar negeri. Jika masih memanfaatkan sumber dana dalam negeri yang jumlahnya terbatas, jelasnya, maka fintech akan kesulitan untuk mendorong target inklusi tersebut.
Dia menilai saat ini telah terjadi perebutan likuiditas atau sumber pendanaan dalam negeri (crowding out) di antara lembaga pembiayaan.
“Fintech diharapkan mendatangkan dana dari luar negeri. Ini tantangan bagi fintech, sehingga bisa dikatakan sungguh berhasil,” ujarnya.
Hendrikus memberi contoh implementasi layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka inklusi keuangan atau Laku Pandai yang didorong OJK.
Menurutnya, program itu sukses mengerek tingkat inklusi layanan jasa keuangan. Dia menilai pemanfaatan dana hanya berpindah dari koperasi atau bank perkreditan rakyat (BPR) ke perbankan melalui Laku Pandai.
Dengan masih tingginya bunga perbankan di Indonesia, Hendrikus meyakini potensi kehadiran kreditur informal atau rentenir pun masih akan sangat besar.
“BPR dan LKM di daerah terganggu dengan hadirnya Laku Pandai. Inklusi memang naik, tetapi hanya pindahkan dana dari koperasi ke situ. Bunga bank masih tinggi, makanya banyak lintah darat di masyarakat,” ujarnya.
Tantangan tersebut, kata Hendrikus, mesti disadari para pelaku seiring pesatnya pertumbuhan jumlah fintech. Dia menjelaskan laporan yang diterima OJK per September 2016 jumlah penyedia layanan keuangan di sektor itu telah mencapai 111 pelaku.
Jumlah itu bertumbuh signifikan sebab pada April 2016 baru mencapai sekitar 50 penyedia jasa. “Fintech memang tumbuh pesat pada 2015 dan 2016.”
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan II OJK Tuahta Aloysius Saragih menjelaskan hingga saat ini total kebutuhan pembiayaan nasional mencapai sekitar Rp1.600-an triliun.
Layanan jasa keuangan konvensional yang ada saat ini, meliputi perbankan, pasar modal dan industri pembiayaan, hanya mampu memenuhi sepertiga dari kebutuhan tersebut. “Masih ada gap pembiayaan sekitar Rp1.035 triliun,” ujarnya.
Tuahta menjelaskan kondisi itu sejalan dengan masih rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap layanan jasa keuangan, yakni baru sekitar 60%.
Salah satu faktor yang menghambat peningkatan rasio pemanfaatan layanan jasa keuangan atau inklusi keuangan itu adalah jarak atau kondisi geografis.
JANGKAU MASYARAKAT
Dia meyakini kehadiran fintech dapat menjadi solusi sebab mampu menjangkau seluruh masyarakat seiring meningkatnya tingkat pemanfaatan layanan Internet. “Fintech bisa mengisi gap itu. Finansial inklusi tanpa fintech itu mustahil.”
Tuahta mengatakan bahwa OJK meyakini fintech menjadi sarana yang paling mudah dan murah untuk merealisasikan target peningkatan inklusi keuangan nasional. Namun, dia menilai pihaknya tengah menyiapkan regulasi untuk memberikan proteksi terhadap konsumen.
Menurutnya, aspek perlindungan konsumen itu menjadi hal utama, di samping peningkatan inklusi, yang didorong dalam penyusunan regulasi terhadap industri fintech.
“Tetapi mesti aman juga. Itu yang akan kita atur sebab sering kali security kurang diperhatikan dengan baik.”
Sementara itu, Direktur PT Bank Amar Indonesia dan pendiri Tunaiku, Vishal Tulsian, menilai layanan peminjaman yang mudah dan tanpa agunan dari penyedia jasa keuangan berbasis aplikasi semakin diminati ma syarakat.
Hal itu terealisasi seiring berkembangnya teknologi. Bank Amar merupakan pendiri fintech Tunaiku. Dia berharap hadirnya regulasi terkait sektor itu tidak menghalangi hadirnya inovasi, tetapi semakin mendorong perkembangan industri.
“Tantangan terbesar bagi industri akan menciptakan keseimbangan, di mana regulasi diharapkan dapat membantu pertumbuhan inovasi. Ke depan, faktor ini sangat penting demi mewujudkan fintech menjadi sumber pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia.”
Dia mengatakan pasar terbesar Tunaiku mereka saat ini adalah di Jabodetabek dan Surabaya. Namun dalam waktu dekat akan merambah beberapa kota besar lain.
“Kami rencananya akan masuk di tiga kota. Yakni Yogyakarta, Bandung dan Medan,” ujarnya.
BISNIS