Sejumlah pekerja sedang melakukan pekerjaan finishing pembatas jalan di atas dermaga pelabuhan Patimban di Desa Patimban, Subang, Jawa Barat, Ahad 7 Desember 2014. TEMPO/Nanang Sutisna
TEMPO.CO, Jakarta- Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Perhubungan merenegosiasi skema pembiayaan pelabuhan pengganti Cilamaya. Dalam rapat terbatas di kantor Presiden, Jokowi ingin skema pinjaman dilakukan antara pemerintah dan pemerintah (governmentto government). Tujuannya ialah agar Pelabuhan Patimban menjadi milik pemerintah.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan, bila skema G to G yang dipilih, pembiayaan yang dipakai bisa dalam bentuk specialtermforeconomicpartnership (STEP). "Ini bunganya murah, 0,1 persen. Kalau pinjam ke bank komersial bisa 1-3 persen," ucap Jonan di kompleks Istana Presiden, Senin, 2 Mei 2016.
Sebelum Pelabuhan Cilamaya dibatalkan, Jepang satu-satunya negara yang tertarik berinvestasi. Menteri Jonan tidak secara tegas menyatakan skema kerja sama akan berlanjut dengan Jepang.
Target utamanya ialah keinginan pemerintah menjadikan Pelabuhan Patimban sebagai aset negara. "Misalnya, Jepang kasih pinjaman, pengelolaannya belum tentu Pelindo. Kami cari pesaingnya, terbuka untuk swasta atau internasional," kata Jonan.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung ingin langkah negosiasi berjalan optimal. Pasalnya, pada 26-27 Mei nanti, Presiden berencana berkunjung ke Jepang. Menurut Pramono, dalam pertemuan tersebut, besar kemungkinan akan ada pertanyaan seputar pembangunan Pelabuhan Patimban.
Adapun dari sisi rencana tata ruang wilayah, Pramono melanjutkan, Bupati Subang menyampaikan tidak ada kendala. Sebab, pembangunan Pelabuhan Patimban hanya mengubah status dari standar regional menjadi utama atau internasional. "Secara prinsip tidak ada masalah. Bisa diselesaikan karena jadi domain pemerintah pusat dan daerah," ujar Pramono.
Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau AirNav Indonesia, menerima kunjungan kerja Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Maria Kristi Endah Murni.