Sharing Economy, Taksi Online, Apakah Untungkan Bangsa?  

Selasa, 22 Maret 2016 11:44 WIB

Puluhan mobil angkutan umum KWK parkir di kawasan monas saat melakukan aksi unjuk rasa di merdeka barat, Jakarta, 22 Maret 2016. Tempo/Dian Triyuli Handoko

TEMPO.CO, Jakarta - Kisruh taksi online (seperti Uber dan Grab) versus taksi konvensional memunculkan banyak pertanyaan. Sebenarnya, mana yang lebih menguntungkan bagi bangsa ini?

Bagi Priyambodo, pengguna taksi Uber atau Grab, keberadaan taksi online itu sangat menguntungkan. "Dari rumah saya ke Cibubur menuju bandara Soekarno dengan Uber atau Grab hanya bayar Rp 100 ribu. Kalau menggunakan taksi biasa bisa Rp 200 ribu," katanya.

Lain halnya bagi para sopir taksi. Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Shafruhan Sinungan mengatakan penurunan penghasilan pengemudi berimbas pada penurunan omzet perusahaan. "Rata-rata turun 40 persen sejak taksi online hadir," ujarnya.

Betul, penghasilan mereka turun. Yang merebut kue pasar pengguna taksi itu sebenarnya bukan cuma Uber dan Grab. Namun, juga ojek online merebut sebagian pasar taksi konvensional. Dengan tarif subsidi, dulu ke manapun di Jakarta cuma Rp 5.000 (sekarang sudah naik ke Rp 10.000 dan belakangan naik menjadi Rp 17.000). Siapa yang tak kepincut tarif murah ini?


Shafruhan menilai sulit bersaing dengan taksi online karena operator taksi konvensional harus menanggung ongkos operasional lebih berat yang dibebankan regulator. Ongkos yang dimaksud, antara lain, pengujian kendaraan bermotor, perizinan, dan kewajiban memiliki tempat perawatan armada (pul). Akibat ongkos ini, tarif taksi konvensional lebih mahal ketimbang taksi online. "Mereka tidak dibebani seperti kami," kata Shafruhan, yang juga Direktur PT Express Transindo Utama.


Express paling terpukul oleh ekspansi bisnis moda transportasi berbasis aplikasi. Anak usaha Grup Rajawali ini hanya meraup laba bersih Rp 11 miliar pada kuartal ketiga tahun lalu. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, Express mengantongi laba Rp 109 miliar.


Guru Besar Ekonomi Indonesia Prof. Rhenald Kasali meminta semua kalangan menanggapi fenomena itu dengan kepala dingin. Dia menulis kolom di Koran Sindo dengan judul "Selamat Datang Sharing Economy." Dia meminta semua melihat juga para tukang ojek online, juga sopir taksi online. "Mereka juga tengah mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak istrinya," begitu dia menulis.


"Hadirnya taksi berbasis aplikasi, menurut saya, adalah penanda datangnya era crowd business.". Rhenald menyebut adanya crowd business. Selain Uber dan Grab ada juga www.nebeng.com. Lalu juga ada penyewaan kamar seperti AirBnB, di mana pemilik kamar kosong bisa menyewakan miliknya bersaing dengan hotel. Rhenald menyarankan para pelaku bisnis menyikapi femonena itu dengan berdamai bukan menentang. "Jaringan hotel-hotel internasional menyikapi fenomena maraknya AirBnB dengan bekerjasama. Mereka mengelola kamar rumah para penduduk agar bisa layak seperti hotel," ujar Rhenald


Advertising
Advertising

Majalah Tempo, juga menyoroti persaingan taksi online dan taksi konvensional itu. Dalam opininya majalah tersebut menulis, pemerintah mesti memikirkan cara agar kebijakan yang diambil menguntungkan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya menguntungkan kelompok tertentu. Berikut ini kutipannya:


Keberadaan taksi berbasis teknologi digital selayaknya tidak dilihat dari perspektif yang sempit. Demonstrasi sopir taksi konvensional yang didukung perusahaan taksi—karena pasarnya mengecil akibat tak mampu bersaing dengan taksi online—merupakan aksi kekanak-kanakan. Mereka seharusnya mengevaluasi diri. Tarif taksi online memang lebih murah ketimbang taksi pada umumnya. Tapi itu tidak melulu disebabkan oleh pajak yang belum dibayarkan taksi online—karena mekanisme belum mengaturnya. Besar kemungkinan, taksi konvensional selama ini tak efisien atau mengambil untung kelewat banyak.

Bagi warga Jakarta dan sejumlah kota besar yang berkejaran dengan waktu, moda angkutan berbasis Internet ini memang menyenangkan: gampang dipanggil, relatif aman, dan murah. Dengan telepon seluler di tangan, mereka bisa mendapatkan Uber, Grab, atau Go-Jek, angkutan roda dua yang juga berbasis aplikasi online, tanpa mencegat di jalan. Inilah salah satu berkah teknologi digital: membuat cepat dan mudah pelbagai urusan.

Dengan kemudahan itu, jumlah konsumen pemakai Uber atau Grab meningkat pesat. Tak aneh bila jumlah pemilik kendaraan yang bergabung dengan Uber atau Grab juga semakin banyak. Sejak peluncurannya setahun lalu di Jakarta, sedikitnya 6.000 pemilik kendaraan bergabung dengan Grab, perusahaan Malaysia yang berbasis di Singapura. Adapun jumlah anggota Go-Jek lebih fantastis: lebih dari 200 ribu orang. Dalam situasi ekonomi yang masih sulit seperti sekarang, tak bisa dimungkiri, pekerjaan berbekal ponsel pintar menjadi katup penyelamat bagi para sopir dan pengojek.



Ekonomi berbagi inilah yang mesti dipertahankan pemerintah: mobil dan sepeda motor yang selama ini tak produktif, melalui Uber, Grab, dan Go-Jek, dapat dipakai untuk mencari uang. Selisih harga yang dibayarkan penumpang—dibandingkan dengan tarif taksi konvensional, yang lebih mahal—dapat dipakai konsumen untuk membeli barang lain. Dengan kata lain, moda transportasi digital punya dampak ekonomi yang lebih luas.




Tim Tempo | BS

Berita terkait

5.000 Polisi Kawal Unjuk Rasa Sopir Taksi Online di Depan Istana

14 Februari 2018

5.000 Polisi Kawal Unjuk Rasa Sopir Taksi Online di Depan Istana

Polda Metro Jaya telah menyiapkan 5.000 anggotanya untuk mengawal unjuk rasa sopir taksi online.

Baca Selengkapnya

Permenhub 108 Tak Jalan, Sopir Taksi Konvesional Ancam Demo

1 Februari 2018

Permenhub 108 Tak Jalan, Sopir Taksi Konvesional Ancam Demo

Sopir taksi konvensional mengancam akan demo jika pemerintah tak menegakkan Permenhub 108.

Baca Selengkapnya

Tentang Taksi Online, Kenapa Permenhub 108 Untungkan Emiten?

29 Januari 2018

Tentang Taksi Online, Kenapa Permenhub 108 Untungkan Emiten?

Peraturan Menteri Perhubungan 108 Tahun 2017 dinilai akan menguntungkan emiten transportasi taksi online.

Baca Selengkapnya

Kinerja Anjlok, Ini Rencana Bisnis Taksi Express

8 Oktober 2017

Kinerja Anjlok, Ini Rencana Bisnis Taksi Express

Kinerja keuangan operator taksi Express , PT Express Trasindo Utama Tbk, pada semester pertama 2017, turun hingga 57 persen.

Baca Selengkapnya

Taksi Express PHK 400 Karyawan, Rekrut 2.000 Sopir Baru

6 Oktober 2017

Taksi Express PHK 400 Karyawan, Rekrut 2.000 Sopir Baru

Taksi Express memecat 400 karyawan di bagian manajerial dengan alasan efisiensi.

Baca Selengkapnya

MTI Jelaskan Penyebab Laba Industri Taksi Semakin Kecil

6 Oktober 2017

MTI Jelaskan Penyebab Laba Industri Taksi Semakin Kecil

Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit mengatakan margin atau laba industi taksi semakin lama semakin kecil.

Baca Selengkapnya

Pendapatan Turun 50 Persen, Ini Curhatan Sopir Taksi Express

6 Oktober 2017

Pendapatan Turun 50 Persen, Ini Curhatan Sopir Taksi Express

Pendapatan sopir taksi Express menurun 50 persen dalam setahun terakhir.

Baca Selengkapnya

Tokopedia Gandeng Uber Integasikan Layanan Pesan Kendaraan

4 Oktober 2017

Tokopedia Gandeng Uber Integasikan Layanan Pesan Kendaraan

Nantinya pelanggan bisa memesan Uber lewat Tokopedia.

Baca Selengkapnya

Dugaan Suap Uber Indonesia ke Polisi, Polri Masih Mendalami  

20 September 2017

Dugaan Suap Uber Indonesia ke Polisi, Polri Masih Mendalami  

Polri mendalami dugaan suap yang dilakukan Uber Indonesia ke polisi.

Baca Selengkapnya

Diduga Lakukan Penyuapan, Uber Diselidiki di AS

30 Agustus 2017

Diduga Lakukan Penyuapan, Uber Diselidiki di AS

Departemen Kehakiman AS dilaporkan telah mulai menyelidiki apakah manajer di Uber melanggar undang-undang AS yang melawan penyuapan pejabat asing.

Baca Selengkapnya