Pekerja menyelesaikan pembuatan mebel di Manggarai, Jakarta, 23 Juni 2015. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produksi industri manufaktur kelas menengah besar sektor furnitur dan kerajinan kuartal pertama tahun ini, menurun 4,38% dibandingkan dengan kuartal IV/2014. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Liman Sumardjani meminta pemerintah mengkaji kembali tentang penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk produk kayu dan olahan berorientasi ekspor. Sebab selama ini sistem tersebut hanya berlaku untuk keberlangsungan industri lokal saja. "Banyak pelaku industri kecil menengah bahkan pengusaha furnitur besar yang belum memiliki SVLK," katanya dalam acara diskusi SVLK untuk menunjang kelestarian hutan dan daya saing ekspor Indonesia di Hotel DoubleTree, Jakarta, Senin, 12 Oktober 2015.
Liman menjelaskan saat ini tidak semua negara importir produk mebel dan furnitur produk Indonesia membutuhkan sertifikat legalitas kayu. "Ini yang sering kali dipertanyakan pengusaha akan penting atau tidaknya SVLK."
Seharusnya, kata Liman, negara importir juga memberlakukan persyaratan SVLK. Hal ini agar para pengusaha yang mengekspor produknya ke negara yang dituju akan secara otomatis meminta SVLK untuk keberlangsungan ekspor impor. "Pemerintah harus mengambil langkah serius untuk mempertegas kekuatan hukum SVLK," ujar dia.
Liman menambahkan, SVLK itu sebenarnya sangat diperlukan untuk aktivitas ekspor berbagai kayu mentah maupun jadi di Indonesia. "Padahal implementasi SVLK merupakan salah satu pintu yang berkelanjutan untuk masa depan furnitur yang lebih baik," katanya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia Henry Subagyo mengatakan sudah seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengganti kekuatan hukum SVLK yang awalnya hanya peraturan menteri menjadi peraturan pemerintah. "Peralihannya tentu harus diusulkan dengan prosedur yang sudah ditentukan melalui perpres dan koordinasi dengan Menkopolhukam," ujar dia.
Usulan pergantian ini tujuannya agar sistem yang diberlakukan bisa diikuti seluruh stakeholder yang ada tanpa berbenturan dengan peraturan menteri lainnya.
Sekadar mengingatkan bahwa SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian (Permenhut Nomor P.38/Menhut-II/2009 Pasal 1 Ayat 10).
Sertifikat legalitas kayu (SLK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu (Permenhut Nomor P.38/.Menhut-II/2009 Pasal 1 Ayat 12). Jadi SLK akan diperoleh pemegang izin atau pemilik hutan hak, jika telah memenuhi SVLK yang dinilai melalui proses verifikasi.
Ini Strategi Promosikan Produk Kayu Berkelanjutan di Indonesia
15 November 2020
Ini Strategi Promosikan Produk Kayu Berkelanjutan di Indonesia
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kasan mengatakan Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk terus memberikan perhatian terhadap industri kayu ringan.