TEMPO.CO, Jakarta - Senior Manager Social Responsibility PT Newmont Nusa Tenggara Syarifuddin Jarot mengaku larangan ekspor mineral mentah akan berdampak buruk terhadap perusahaannya. Bila kebijakan ini jadi diterapkan, Newmont menyatakan mungkin akan mengurangi jam kerja karyawan.
"Kami menyiapkan beberapa rencana konvergensi bagi karyawan, kemungkinan ada pengurangan jam kerja," katanya di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki di Jakarta, Kamis, 26 Desember 2013.
Rencana konvergensi itu akan mulai dilaksanakan pada 23 Januari 2014, jika larangan ekspor mineral mentah benar-benar dimulai 12 Januari 2014 seperti rencana pemerintah. Pemerintah menetapkan agar mineral yang akan diekspor diolah terlebih dahulu di smelter. Aturan ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan itu diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012.
Menurut Jarot, Newmont belum memiliki smelter. Saat ini, hanya 25 persen hasil tambangnya yang dimurnikan di smelter di dalam negeri. Itu pun bukan milik sendiri.
Ekspor mineral mentah, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, akan merugikan negara. Sebab, yang menikmati nilai tambah dari ekspor mineral adalah pihak asing.
Bila larangan itu tetap diberlakukan, menurut dia, pemerintah justru diuntungkan. Keuntungan itu antara lain penerimaan pajak tambang akan melonjak, meningkatkan devisa negara, dan mengendalikan harga mineral di pasar dunia.
Marwan menilai perusahaan-perusahaan besar yang menolak penerapan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara tak punya niat baik untuk membangun smelter. "Mereka sudah diberi waktu lima tahun," ujarnya.