TEMPO Interaktif, Jakarta: LSM Lingkungan, Greenomics Indonesia mencatat divestasi nilai ekonomi modal ekologi sebesar Rp 46,4 triliun pertahun. Hal ini menurut Direktur Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, praktik tambang terbuka di hutan lindung pada 25 kabupaten/kota yang dimungkinkan melalui Perpu No. 1 tahun 2004 itu.Kerugian ini, menurut Elfian, cukup besar walau luasan hutan lindung yang boleh didivestasi 13 perusahaan tambang secara terbuka itu masih dibawah 1 juta hektar. Kerugian itu bahkan lebih besar dibanding nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari 25 kabupaten/kota itu, yang hanya sekitar Rp 42 triliun pertahun.Nilai divestasi sebesar Rp 46,4 triliun itu, menurut Elfian, masih parsial yang terdiri dari nilai jasa ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, biaya lingkungan disektor hulu, dan pemanfaatan hutan lindung secara berkelanjutan oleh masyarakat sekitar. Kerugian ini masih ditambah dengan nilai intrinsik kayu, yang bernilai tak kurang dari Rp 27,5 triliun. Sedangkan praktik tambang terbuka di hutan lindung secara bertahap juga akan menurunkan nilai PDRB. Diperkirakan, sekitar Rp 23,1 triliun pertahun nilai PBRD dari 25 kabupaten/kota itu akan menyusut. Sementara itu, nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD)-yang hanya sekitar Rp 93 miliar pada 2003-juga akan terdivestasi. Hal ini karena praktik tambang itu akan menciptakan perekonomian lokal yang serba mahal. Total penurunan PDRB dan PAD diperkirakan tidak kurang dari Rp 70 triliun pertahun. Karena praktik tambang terbuka menimbulkan proses divestasi modal ekologi yang sangat tinggi bagi perekonomian nasional, seharusnya pemerintah mempertimbangkan pencabutan dari perpu ini, ujar Elfian, Kamis (8/4). Karena kegiatan perekonomian masyarakat sangat tergantung dengan fungsi ekologis yang diberikan oleh hutan lindung. Mawar Kusuma - Tempo News Room