Gubernur Bank Indonesia Sebut Lima Faktor Kemajuan Pasar Keuangan Syariah
Reporter
Hanin Marwah
Editor
Abdul Manan
Jumat, 1 November 2024 05:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan lima faktor utama dalam membangun kemajuan pasar keuangan syariah. Salah satunya dengan mengembangkan Sukuk Hijau (Green Sukuk) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Hal ini disampaikan Perry dalam Joint High Level Seminar and Investor Forum bertema Future Development of Product Innovation and Liquidity Management in the Islamic Financial Services Industry, Kamis, 31 Oktober 2024. Seminar ini diinisiasi Bank Indonesia berkolaborasi dengan Islamic International Liquidity Management (IILM) dan Islamic Financial Services Board (IFSB).
“Pertama, mengembangkan inovasi produk keuangan syariah yang tidak hanya berbasis pada 3 instrumen utama yaitu sukuk, takaful, dan wakaf,” katanya, seperti dikutip dari keterangan resminya pada Jumat, 1 November 2024.
Sebagai salah satu penerbit sukuk terbesar, kata Perry, Indonesia juga sudah menginisiasi penerbitan Sukuk Hijau atau yang juga dikenal dengan Sukuk Negara. Ia menyebut sukuk ini mampu menunjang ekosistem perekonomian dan keuangan hijau. Sebab, SBSN tidak mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), atau maysir (judi) sehingga dapat menjadi alternatif investasi yang sejalan dengan ketentuan syariah Islam.
Perry menjelaskan, tujuan utama dari penerbitan Sukuk Hijau adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat dan para investor, yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan negara. Sukuk Hijau ini juga dirancang untuk mendukung komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim, termasuk di dalamnya risiko transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Merujuk pada Laporan Pengembangan Keuangan Islam 2023 terkini, disadur dari laman resmi BI, nilai Sukuk Hijau dan Environmental, Social, Governance (ESG) yang beredar mencapai 24,4 miliar dolar AS pada 2022. Malaysia dan Arab Saudi adalah pemimpin Sukuk ESG, diikuti oleh Indonesia dan UEA.
Untuk faktor kedua, Perry menyebut soal perlunya akselerasi pengembangan pasar keuangan syariah melalui digitalisasi ekonomi dan keuangan syariah. Hal ini diharapkan mampu menjawab tantangan risiko ketidakpastian global yang disertai pesatnya arus digitalisasi.
Dari data yang dimiliki BI, ukuran pasar fintech syariah global diperkirakan mencapai US$ 138 miliar pada periode 2022-2023 dan diproyeksikan meningkat menjadi US$ 306 miliar pada 2027 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 17,3 persen. Pertumbuhan ini tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan sektor fintech global secara keseluruhan, yang diperkirakan akan tumbuh pada CAGR sebesar 12,3 persen selama periode yang sama.
Faktor ketiga, kata Perry, integrasi jasa sistem keuangan wholesale dan ritel yang mampu memperkuat interkoneksi seluruh lembaga keuangan syariah. Termasuk di dalamnya asuransi maupun lembaga sosial finance.
Faktor keempat adalah dukungan kerangka kebijakan yang turut mengedepankan manajemen risiko dalam memitigasi risiko siber, operasional, dan anti pencucian uang.
Faktor kelima adalah perlunya melakukan edukasi dan literasi sistem keuangan syariah. Menurut Perry, perlu penguatan pemahaman masyarakat dan kapabilitas SDM guna mendorong pengembangan sektor keuangan syariah dan menumbuhkan inovasi secara berkelanjutan.
Sukma Kanthi Nurani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Badan Gizi Nasional Sebut Uji Coba Makan Bergizi Gratis Rp 900 Juta per Bulan, Dibiayai Hamba Allah