Ekonom Sebut Kebijakan Ekonomi Dalam Negeri Ikut Sumbang Anjloknya Nilai Tukar Rupiah
Reporter
Nandito Putra
Editor
Grace gandhi
Kamis, 11 Juli 2024 21:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Paramadina Handi Risza menilai pemerintah harus mengakui pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal dan ketidakpastian perekonomian global. Menurut Handi, faktor terbesar melemahnya nilai tukar rupiah dipicu kebijakan fiskal dan moneter dalam negeri.
Handi mengatakan, seharusnya nilai tukar rupiah tidak begitu anjlok mengingat inflasi dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan inflasi di Amerika Serikat. "Dalam teori inflasi itu, ketika inflasi rendah jauh di bawah AS, seharusnya mata uang kita tidak serendah saat ini. Tapi nyatanya mata uang kita turun signifikan," kata Handi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Dilema Kabinet Prabowo dalam Bungkus Koalisi Besar, di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
"Akan tetapi pemerintah selalu menuding kondisi perekonomian global yang membuat perekonomian kita anjlok. Kondisi eksternal yang membuat mata uang kita jatuh. Padahal ada faktor internal yang sangat serius," ia melanjutkan.
Selain itu, Handi mengatakan penurunan penerimaan pajak saat utang meningkat akan menurunkan kemampuan pembayaran utang ke depan. "Ini akan menjadi beban pemerintahan Prabowo ke depan karena dalam tahun ini jumlah penerimaan pajak tidak meningkat," katanya.
Senada dengan Hendi, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga disebabkan oleh kebijakan impor yang tidak tepat. Ia mengatakan nilai impor Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Mulai dari impor pangan, impor gula, impor tekstil, bahkan garam pun juga impor," kata Esther yang hadir sebagai pembicara secara daring.
Faktor lainnya yang mendorong melemahnya nilai tukar rupiah, kata dia, pengelolaan utang selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi. Esther menyebut ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS sangat tinggi. Menurut Eshter, hal inilah yang terus menggerus devisa negara. "Dan pada akhirnya akan mempersulit kesanggupan pemerintah untuk mengurangi beban utang," kata dia.
Esther menjelaskan, per Mei 2024, utang Indonesia tembus Rp 8.300 triliun dengan jatuh tempo pada 2025 hingga 2029 sebesar Rp 3.749 triliun. "Utang yang jatuh tempo ini juga akan mengurangi devisa negara, sehingga pemerintahan Prabowo harus mencari alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan," katanya.
Untuk itu, ia menyarankan agar pembangunan IKN tidak lagi menggunakan anggaran yang besar dari APBN. "Kalau mau membangun dengan cepat, jangan pakai APBN, harus cari alternatif lain dan tidak dibebankan pada anggaran negara," katanya.
Pilihan Editor: Bea Masuk hingga Satgas untuk Berantas Impor Ilegal, Pengusaha Konveksi Ini Cerita Kondisi Sudah Kritis