TEMPO.CO, Jakarta - Utang jatuh tempo pemerintah Indonesia pada 2025 mencapai Rp 800,33 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika pengelolaan kredibel dan kondisi ekonomi hingga politik baik, maka risiko utang tersebut sangat kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), sebagian besar warganet pesimistis pemerintahan Prabowo-Gibran mampu menangani masalah utang. Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto, mengatakan timnya sempat meng-crawling (meneliti konten) perbincangan 15 hari terakhir di laman X atau Twitter.
Dari 22 ribu perbincangan di 18 ribu akun yang membahas utang pemerintah, hasilnya 79 persen netizen menganggap utang adalah beban masyarakat, sisanya melihat sisi positifnya. "Utang kita sudah cukup besar,dan sudah sangat besar,” ujar Eko dalam diskusi Indef yang dipantau daring, Kamis, 4 Juli 2024.
Menurut Eko, sikap kurang optimistis warganet sangat realistis. Karena selama pemerintahan Prabowo yakni 2025, 2026, 2027, pemerintah harus keluarkan Rp 800 triliun untuk bayar utang jatuh tempo. Di tengah kebutuhan belanja program dan belanja lainnya. Ini belum termasuk utang baru yang juga memiliki masa jatuh tempo. Defisit APBN yang melebar juga bisa membuat pemerintah menarik pinjaman lagi.
Eko beranggapan rasio utang yang saat ini di kisaran 38 hingga 39 persen terhadap produk domestik bruto atau PDB belum bisa dikategorikan aman. Karena angkanya masih akseleratif. Dalam menghitung kondisi kerentanan utang, pemerintah mengacu pada rasio utang yang batasnya ditetapkan 60 persen terhadap PDB.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Menurut dia, batasan tersebut cara hitungnya tidak akademik, karena hanya berdasarkan kesepakatan saja.
Sementara itu, Direktor Program Indef ,Eisha Rachbini mengatakan profil utang pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika dimaksimalkan hingga 60 persen terhadap PDB akan memberikan beban fiskal ke generasi mendatang. “Kapasitas kita untuk lebih maju lagi, ruang geraknya sedikit,” ujarnya.
Eisha mengatakan menghadapi utang jatuh tempo perlu kewaspadaan, di tengah program pemerintah yang fantastis. Menjalankan pembiayaan program ditambah bayar utang jatuh tempo, pasti akan memberikan selisih antara pendapatan dan penerimaan. Kalau pendapatan tetap dan turun, defisit bisa makin besar dan perlu pembiayaannya dari utang baru, ini yang membuat Indonesia tidak akan bisa lepas dari jerat pinjaman.
Pilihan Editor: Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Cek Harga Tanah di Sekitarnya