Pernyataan Pemerintah soal UU Anti Deforestasi: Rugikan Petani, Diskriminatif, dan Gaya Perang Dagang Baru
Reporter
Tempo.co
Editor
Naufal Ridhwan
Kamis, 3 Agustus 2023 15:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa kembali menjadi pembicaraan. Pasalnya, UU yang dikenal juga sebagai EUDR ini dianggap merugikan komoditas ekspor Indonesia. Beleid itu mengatur agar barang yang diekspor ataupun diimpor Uni Eropa bebas dari deforestasi atau penggundulan hutan.
Pemerintah juga mengeluarkan beberapa pernyataan terkait hal ini. Berikut rangkumannya dihimpun Tempo.
Zulhas: rugikan petani kita
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan pemerintah menolak UU Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Zulhas, sapaannya, menilai aturan ini berpotensi diskriminatif dan menghambat perdagangan.
"Kebijakan ini berpotensi merugikan petani-petani kita," tutur Zulhas dalam forum Food Agri Insight "Melawan UU Anti Deforestasi Uni Eropa" di Auditorium Kemendag, Selasa, 1 Agustus 2023.
UU Anti Deforestasi hambat perdagangan
Ia mengatakan UU Anti Deforestasi menghambat perdagangan karena selama ini Indonesia mengekspor berbagai komoditas ke Uni Eropa. Mulai dari sawit, kopi, kayu, karet, hingga ternak sapi. Nilai ekspornya pun fantastis.
"Ekspor Indonesia ke Eropa tahun 2022 nilainya hampir US$ 7 juta. Ini meliputi hampir 8 juta petani kecil," tutur Zulhas. "Kami sadari perjuangan ini (penolakan terhadap UU Anti Deforestasi) tidak mudah. Tapi untuk melindungi kepentingan nasional."
Soal potensi diskriminasi, Zulhas mengatakan UU Deforestasi membuat ketentuan atau kriteria-kriteria negara berisiko. Walhasil, jika Indonesia masuk kategori high risk atau berisiko tinggi, Indonesia bisa di-blacklist.<!--more-->
Stafsus Mendag sebut UU Anti Deforestasi gaya perang dagang baru
Di sisi lain, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional, Bara Hasibuan, menilai Uni Eropa secara tidak langsung memulai perang dagang baru melalui perspektif lingkungan hidup. Perang dagang baru dilakukan melalui penerbitan UU Anti Deforestasi.
"Seakan-akan negara lain, termasuk Indonesia, tidak memiliki komitmen yang sama atau melakukan hal ril dalam melawan perubahan iklim," tutur Bara dalam forum FoodAgri Insight 'Melawan UU Anti Deforestasi Uni Eropa' di Auditorium Kementerian Perdagangan pada Selasa, 1 Agustus 2023.
Padahal, menurut dia, penyumbang emisi gas rumah kaca justru kebanyakan negara maju. Misalnya, Amerika Serikat, melalui penggunaan kendaraannya.
Pemerintah tegas, tolak dan lawan UU Anti Deforestasi
Pemerintah, kata Bara, bersikap tegas dengan menolak dan melawan UU Anti Deforestasi. Langkah yang diambil, yakni dengan jalur diplomasi. Menurut Bara, kementeriannya selalu menyampaikan keberatan atas kebijakan Uni Eropa tersebut. Selain itu, pemerintah menggalang kekuatan dari negara lain yang termasuk the emerging economic untuk menghadapi kebijakan ini.
"Kalau nantinya harus melakukan gugatan di WTO (World Trade Organization), ya kami siap," ujar Bara.
Dalam perlawanan dan penolakannya terhadap UU Anti Deforestasi Uni Eropa, Zulhas mengatakan pemerintah sudah mengambil berbagai langkah. Terutama melalui forum multilateral.
"Kami aktif sampaikan kekhawatiran akan kebijakan Uni Eropa dan meminta klarifikasi atas aturan Anti Deforestasi," ujar dia.
Selain itu, ia mengatakan pemerintah juga membahas perkara ini di Komite WTO, seperti Komite Pertanian, Komite Perdagangan Barang, Komite Akses Pasar, dan Komite Perdagangan dan Lingkungan. "Kami juga mengambil posisi bersama perwakilan negara lainnya di Brussels," kata dia.
Selebihnya, Zulhas memaparkan, pemerintah bakal mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang terukur.
Uni Eropa pakai standar sendiri
Bara mengatakan pemerintah tidak sepakat dengan UU Anti Deforestasi Uni Eropa lantaran bakal memberi implikasi besar bagi kehidupan rakyat Indonesia, terutama para petani kecil. Termasuk potensi penurunan nilai ekspor ke Uni Eropa. Jika mengacu pada hasil ekspor tahun lalu, setidaknya ada US$ 6,7 miliar yang berpotensi terhambat aturan ini.
Lebih lanjut, Bara menyebut dalam membuat kebijakan ini, Uni Eropa menggunakan perspektif atau standar sendiri. Walhasil, ada kebijakan yang salah sasaran. Misalnya dengan memasukkan kategori kakao sebagai komoditas yang masuk di UU Anti Deforetasi.
"Kokoa ini kan bukan komoditi hutan. Salah sasaran. Kokoa tidak sebabkan deforestasi," ujar Bara. "Uni Eropa dengan kekuatan ekonomi yang lama, income per kapita sangat tinggi, dan kehidupan yang sangat modern, tidak bisa gunakan standar mereka untuk menekan negara lain."<!--more-->
Jokowi: ancam ekspor minyak sawit
Sementara itu, Presiden Joko Widodo alias Jokowi pun menilai aturan EUDR mengancam ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Jokowi pun mengajak Malaysia untuk melawan aturan yang disebutnya "diskriminasi" terhadap komoditas unggulan dua negara ini.
Adapun Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Keduanya bersama-sama menyumbang sekitar 85 persen dari ekspor minyak sawit global.
“Kerja sama ini perlu kita perkuat. Kita tidak ingin komoditas yang diproduksi Malaysia dan Indonesia didiskriminasikan di negara lain,” kata Jokowi dalam konferensi pers di Kuala Lumpur seusai bertemu Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim awal Juni lalu.
Dalam pernyataan bersama, kedua pemimpin berjanji bekerja sama secara erat untuk mengatasi persoalan ini. Indonesia dan Malaysia mengirim misi bersama ke Brussel minggu lalu terdiri atas pejabat pemerintah senior kedua negara untuk bertemu para pemimpin Uni Eropa guna membahas undang-undang deforestasi.
RIRI RAHAYU | RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan Editor: Ramai-ramai Cari Pasar Baru Imbas UU Anti Deforestasi Uni Eropa, Tak Berdampak Signifikan?