Jual Beli Karbon RI Mulai September, Luhut Sebut Indonesia Berpotensi Hasilkan Rp 225,21 T
Reporter
Magang KJI
Editor
Grace gandhi
Rabu, 26 Juli 2023 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan perdagangan karbon memiliki potensi untuk menghasilkan US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 225,21 triliun per tahun. Indonesia akan mulai perdagangan karbon ini pada September 2023.
Luhut pada Senin, 24 Juli 2023 telah meneken Pengaturan Pelaksanaan Program Penetapan Harga Karbon UK Partnering for Accelerated Climate Transitions (IA on UK-PACT) dengan Kedutaan Besar Inggris.
Kesepakatan UK-PACT itu menindaklanjuti MoU Inggris dan Indonesia tentang Aksi Iklim dan Nilai Ekonomi Karbon, yang diteken pada side event G20 di Bali tahun lalu.
“Berkaca kembali ke Perjanjian Iklim Glasgow, kita harus mempertahankan kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celcius dengan tindakan aksi iklim yang lebih ambisius,” ujar Luhut.
Untuk mencapai target yang ambisius itu, menurut Luhut, Indonesia dan Inggris menyadari betapa krusialnya kerja sama antar negara dalam mengatasi tantangan global atau perubahan iklim.
Banyak alat dan strategi yang digunakan untuk memitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk nilai ekonomi karbon. “Berbagai negara sudah mengadopsi dan mengimplementasikan alat ini untuk mendorong transisi yang lebih berkelanjutan dalam praktik rendah karbon.” jelas Luhut.
Luhut menambahkan Indonesia butuh memiliki bursa karbon agar memiliki jalur perdagangan yang jelas serta urusan perdagangan karbon dalam negeri terdata. “OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan mengawasi kegiatan pertukaran karbon ini. Jadi hanya entitas yang beroperasi di Indonesia yang mendapat izin untuk berdagang di bursa karbon, cara kerjanya akan seperti bursa saham,” tegas Luhut.
Selanjutnya: Luhut memastikan akan memulai perdagangan karbon....
<!--more-->
Luhut memastikan akan memulai perdagangan karbon pada September 2023. Untuk meningkatkan penggunaan energi pembaruan dan mencapai emisi net zero pada tahun 2060, memitigasi perubahan iklim Indonesia membutuhkan perdagangan karbon, dan perpajakan.
Pemerintah Indonesia sudah memulai pekerjaan dasar dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
“Indonesia sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara ingin memangkas emisinya hingga lebih dari 30 persen pada tahun 2030," sambung Luhut. “Dengan UK-PACT, program kerja sama untuk persiapan alur peta carbon pricing di sektor agrikultur, industri, dan standar internasional transportasi akan dipercepat.”
Luhut mengungkapkan menurut beberapa studi, Indonesia memiliki potensi besar sebagai kapasitas gudang CO2 dari 10 gigaton sampai 400 gigaton pada depleted reservoir dan saline aquifer minyak dan gas.
Luhut menambahkan, implementasi penyimpanan penangkapan karbon (CCS) dapat menjadi strategi jangka pendek dalam mengurangi emisi di sektor minyak dan gas. Metode pengembangan membutuhkan validasi dan verifikasi.
“Kami sudah mengembangkan proyek karbon biru di Mangrove, Kalimatan Utara, yang dapat memproduksi 59,6 juta ton yang siap untuk dikreditkan.” ujar Luhut.
LAYLA AISYAH
Pilihan Editor: Rekam Jejak Susi Pudjiastuti, dari Aktif Kritisi Kebijakan Jokowi, hingga Belakangan Ditemui Prabowo dan Anies