Kasus Lahan Sawit di Hutan, PPATK Monitor Rekening Kepala Daerah dan Pegawai Kementerian
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 27 Juni 2023 17:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) buka suara soal 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut ada keterlibatan pejabat dalam kasus tersebut.
Direktur Analisis dan Pemeriksaan I PPATK, Beren Rukur Ginting mengkonfirmasi masalah utama dalam kasus itu berkaitan dengan indikasi suap dan gratifikasi. "Itu terkait dengan pejabat yang berkepentingan, baik kepala daerah atau pegawai di kementerian. Kira-kira begitu," kata dia saat ditemui di Hotel Santika Bogor pada Selasa, 27 Juni 2023.
Adapun 3,3 juta hektare lahan sawit ilegal itu terungkap dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebelum hasil audit ini keluar, menurut Beren, PPATK sebetulnya sudah memonitor transaksi janggal terhadap para pihak yang terlibat
Selain soal dugaan suap dan gratifikasi, PPATK juga memantau transaksi dan aktivitas kegiatan usaha dari setiap korporasi sawit. Dari hasil pantauan itu, PPATK kemudian memastikan berapa sesungguhnya total nilai transaksi perusahaan. Sehingga dapat diketahui apakah pajak yang disetorkan perusahaan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan.
Sejauh ini, kata dia, kejanggalan yang kerap ditemukan PPATK berupa penggelembungan nilai transaksi. Perusahaan tersebut memasukkan aktivitas transaksi yang kompleks, seperti menambah jumlah produk yang diekspor dari angka yang sesungguhnya.
PPATK tergabung dalam Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit
<!--more-->
"Perusahaan bisa memasukkan aktivitas transaksi menggelembungkan nilai untuk mendapatkan restitusi yang lebih besar. Seolah-olah ada barang keluar padahal tidak," kata dia.
PPATK juga tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Satgas tersebut dibentuk oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 9 tahun 2023 untuk menangani pemutihan atau pengampunan lahan sawit di kawasan hutan tersebut.
Satgas ini juga ditugaskan untuk mempercepat penanganan kasus ini berdasarkan pasal Pasal 110A dan 110 Undang-undang Cipta Kerja. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan.
Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif. Alhasil, perusahaan yang memiliki lahan sawit di kawasan hutan tersebut menjadi legal asalkan menyetor pajak sesuai yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Menurut Beren, langkah tersebut dilakukan pemerintah demi mendorong penerimaan negara dari industri sawit. "Ini upaya lebih dari pemerintah supaya sumber daya yang ada ini perannya bisa lebih besar ke negara, bukan ke orang per orang. Kalau dilepaskan kan jadinya ke orang per orang," kata dia.
Pilihan editor: PPATK Sebut Dana Korupsi BTS Kominfo ke Mengalir ke Banyak Money Changer