Kemenkeu Blokir Perusahaan yang Tak Patuh Bayar PNBP, Bagaimana Alur Kerjanya?
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 9 Juni 2023 09:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan atau Kemenkeu memiliki mekanisme bagi perusahaan yang tidak patuh membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satunya dengan melakukan penghentian layanan perusahaan serta implementasi automatic blocking system (ABS) yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengelolaan PNBP.
Lalu, bagaimana alur kerja ABS itu sendiri?
Pertama, Instansi Pengelola PNBP akan memblokir Wajib Bayar yang tidak patuh melalui sistem informasi yang terhubung dengan Kemenkeu. “Kedua, Instansi Pengelola PNBP menginput data Wajib Bayar yang tidak patuh, untuk diblokir di SIMPONI (Sistem Informasi PNBP Online) dan/ atau perluasan blokir,” tertulis di laman resmi Kemenkeu dikutip Jumat, 9 Juni 2023.
Alur ketiga, Direktorat Jenderal Anggaran mengirim data blokir kepada instansi perluasan blokir (misalnya: Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Perhubungan). Keempat, untuk membuka blokir, Wajib Bayar harus memiliki upaya dalam penyelesaian piutang PNBP.
Antara lain melalui pelunasan lewat menu khusus pembayaran tagihan PNBP di SIMPONI; dan permohonan keringanan/keberatan/koreksi tagihan/restrukturisasi piutang/gugatan ke pengadilan. “Atau kebijakan pemerintah, salah satunya berupa kebijakan Wajib Bayar untuk mendukung program nasional,” tulis Kemenkeu.
Direktur PNBP Kementerian Lembaga Wawan Sunarjo menjelaskan, di dalam PMK yang dulu, ABS belum merambah kepada siapa yang melakukan atau siapa yang berhak untuk meminta ABS. Saat ini, berbicara piutang terutama piutang PNBP biasanya memiliki pola pengelolaannya.
“Kementerian/ lembaga harus mengupayakan menagih, jika tidak bisa maka diserahkan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),” ujar dia di Gedung DJA Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Juni 2023.
Jika perusahaan sudah membayar, simpulnya akan dibuka
<!--more-->
Wawan mencontohkan soal ABS ini di sektor mineral dan batu bara atau minerba, di mana ada suatu perusahaan yang tidak membayar royalti. “Tidak bayarnya ini bukan di awal pengapalan, saat pengapalan itu pengusaha atau eksportir sudah membayar duluan untuk royalti yang asesmen,” tutur dia.
Dengan berjalannya waktu, maka ada langkah verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, misalnya nama perusahaannya PT Batu Bara Timur Jaya sudah membayar royalti untuk 6 bulan ini senilai Rp 531 miliar. Namun, pada Agustus di-review, di verifikasi oleh ESDM kurang bayar senilai Rp 40 miliar. Sedangkan ketika ditagih tidak mau membayar.
Namun, karena aturan untuk pengapalan dan kemudahan berusaha tentunya maka setiap ekspor di bulan berikutnya sepanjang membayar asesmen yang awal tadi, itu masih diperbolehkan. Sebagai penguatan, maka untuk memaksa PT Batu Bara Timur Jaya, jika tidak membayar Rp 40 miliar, maka tidak akan bisa membayar royalti next ekspor.
“Kemudian layanannya ditutup, dia tidak bisa bayar karena tidak punya billing, simpulnya kita tutup. Kita paksa mereka bayar dulu. Nah ini namanya ABS,” kata Wawan.
Jika perusahaan sudah membayar, simpulnya akan dibuka dan bisa membayar royalti, maka bisa pula melakukan pengapalan. Sehingga, ini akan membuat optimalisasi penerimaan negara.
“Itu kenapa kita kenalkan ABS, karena kementerian/ lembaga itu tidak melakukan apa-apa sebetulnya. Tapi tetap melakukan pelaporan ke kita, PT ini perlu dilakukan ABS simpulnya kita tutup,” ucap Wawan.
Pilihan editor: 33 LHA Berkaitan Transaksi Mencurigakan Kemenkeu, Mahfud Md: Selama Ini Belum Berkembang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini