Migrasi ke Kompor Listrik, Pakar: Pemerintah Hanya Memindahkan Masalah
Reporter
Septia Ryanthie
Editor
Francisca Christy Rosana
Selasa, 27 September 2022 18:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik, Anton Agus Setyawan, menilai konversi kompor LPG ke kompor listrik adalah pengalihan masalah. Kebijakan ini pun dianggap masih menimbulkan kontroversi.
"Menurut saya dengan kebijakan itu pemerintah hanya memindahkan masalah," ujar Anton kepada awak media saat dihubungi melalui ponselnya, Selasa, 27 September 2022.
Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta atau UMS itu, kebijakan konversi didasari fakta bahwa PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN mengalami oversupply atau kelebihan pasokan listrik. Kelebihan pasokan terjadi akibat pembangunan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU pada 2010 lalu.
"Jadi ada kelebihan supply listrik yang tidak bisa disalurkan sehingga kemudian keputusannya adalah PLN akan meningkatkan daya listrik di masyarakat, salah satunya dengan mengkonversi elpiji ke listrik," katanya.
Anton menduga saat ini PLN bingung untuk mendistribusikan pasokan listrik yang berlebih. "Sehingga pakai cara itu (konversi gas LPG ke listrik)," katanya.
Dia pun menyoroti pemberian subsidi kepada masyarakat jika program konversi kompor listrik itu berjalan. Subsidi ini, ucap dia, semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah ingin mengatasi persoalan kelebihan pasokan dengan migrasi kompor.
Di sisi lain, Anton juga mengkritik sumber energi yang digunakan untuk kompor listrik yang berasal dari energi fosil. Semestinya, kata dia, pemerintah memprioritaskan sumber energi yang terbarukan.
"Sumber listriknya bisa dari energi matahari, panas bumi, air, atau angin, semua yang tidak berasal dari energi fosil yang tak terbarukan," katanya.
Kota Solo menjadi salah satu kota yang dipilih PLN sebagai pilot project konversi kompor gas LPG ke kompor listrik. PLN mengkonversi seribu kompor gas ke induksi. Program itu menyasar peneriman program keluarga penerima manfaat. Masyarakat mendapatkan bantuan berupa kompor listrik beserta alat masaknya.
Menurut informasi yang dihimpun Tempo, bantuan itu sudah didistribusikan kepada warga di sejumlah kelurahan yang tersebar di lima kecamatan di Solo, antara lain Banjarsari dan Pasarkliwon. Informasi itu diakui Camat Banjarsari, Solo, Beni Supartono Putro.
Di wilayahnya, sejauh ini sudah terealisasi bantuan ratusan kompor listrik dari PT PLN. Secara bertahap bulan November akan digulirkan lagi. “Sementara ini di Banjarsari yang mendapatkan promosi bantuan kompor 289. Rencana di bulan November ini akan ada tanbahan lagi kepada masyarakat kurang mampu,” kata Beni.
Salah seorang warga Solo yang telah mendapatkan bantuan itu, Restu Utami, menuturkan telah memanfaatkan kompor listrik itu untuk keperluan memasak. Restu mengakui pemakaian kompor listrik lebih mudah dan praktis. "Mudah dibersihkan juga, dan.biaya listrik juga nggak terlalu tinggi," katanya.
Namun Restu menuturkan, di samping menggunakan kompor listrik, ia juga masih menggunakan kompor gas LPG khususnya jika memasak makanan yang membutuhkan waktu lama. "Kalau kompor listrik misalnya untuk menggoreng telur atau masak air," kata dia.
Menurutnya, penggunaan kompor listrik bisa terhambat jika terjadi pemadaman listrik. Adapun beberapa warga lain yang baru mengetahui adanya rencana penerapan konversi itu menyatakan keberatan. Ria, warga Solo, khawatir penggunaan kompor listrik akan memakan energi listrik yang cukup besar sehingga biayanya membengkak.
"Ya pastinya itu nanti bayar listriknya jadi tambah mahal ya, tentunya akan memberatkan buat saya," kata Ria.
Kekhawatiran itu senada yang dirasakan Marno. Pemilik warung soto itu cemas biaya pemakaian listrik melonjak akibat penggunaan kompor listrik. Walhasil, kebijakan itu malah memberatkan pedagang kecil.
"Listrik di rumah saya dulu hanya 450 VA itu saya bayar setiap bulan hanya Rp 36 ribu karena ada subsidi. Sekarang listrik saya 900 VA, saya bayarnya saja sudah sekitar Rp 300 ribu per bulan. Kalau harus pakai kompor listrik ya pastinya biayanya akan jadi lebih mahal ya. Itu berat buat saya," kata Marno. Warga berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan konversi itu dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat kecil.
SEPTHIA RYANTHIE (SOLO)
Baca: Jokowi Kesal Kekayaan Aspal di Buton Melimpah, tapi Malah Impor 5 Juta Ton per Tahun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.