Sri Mulyani: Dampak Krisis Iklim Lebih Besar dari Pandemi Covid-19, Harus Ada Solusi
Reporter
magang_merdeka
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 15 September 2022 07:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai krisis iklim harus diberikan solusi. Karena jika Indonesia tidak ada gerakan untuk berubah, akan menimbulkan banyak kerugian dan juga berdampak pada tahun-tahun berikutnya, yang dapat mengancam manusia, ekonomi, dan sistem finansial.
Hal itu disampaikan Sri Mulyani saat menghadiri HSBC Summit 2022 “Powering the Transition to Net Zero, Indonesia's Pathway for Green Recovery", Rabu, 14 September.
"Kita semua menyadari perubahan iklim menjadi ancaman global yang telah menjangkau kemanusiaan, ekonomi, sistem keuangan dan cara hidup kita lebih dari masa pandemi Covid-19," kata Sri Mulyani.
Pada riset yang diterbitkan oleh lembaga asal Swiss pada tahun 2021, Sri Mulyani menjelaskan bahwa perubahan iklim dapat membuat dunia kehilangan lebih dari 10 persen, sehingga memberikan kerugian yang besar bagi sektor ekonomi apabila kesepakatan pada 2050 di Paris tidak terpenuhi.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan situasi ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, tapi juga ekonomi secara keseluruhan. "PDB Indonesia, dapat merugi 0,63% hingga 45% pada 2030," kata Sri Mulyani.
Ia juga mengatakan secara bertahap, tekanan inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan nasional dan internasional akibat perubahan cuaca seperti banjir, badai, dan kekeringan yang berpotensi mengakibatkan kerugian secara financial.
Ia menilai bencana alam terkait perubahan iklim harus menjadi sorotan global karena akan meningkatkan frekuensi bencana alam serta potensi gangguan yang dapat merusak kemajuan dalam pembangunan ekonomi.
Adanya peningkatan suhu yang semakin cepat, laju emisi gas rumah kaca akan terus meningkat secara eksponensial. Sejumlah indikator perubahan iklim seperti emisi gas rumah kaca hingga tinggi permukaan laut sudah menjadi tanda untuk setiap negara melakukan mitigasi agar dampak dari perubahan iklim dapat diatasi.
Kondisi situasi ekonomi global saat ini sedang menghadapi tingginya laju inflasi yang membuat biaya hidup meningkat drastis.
Sri Mulyani mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk menghadapi perubahan iklim melalui Paris Agreement dengan mengurangi 29 persen emisi CO2 berupaya mengurangi 41 persen, dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Presiden Jokowi mengumumkan di acara COP26 di Glasgow mengenai bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya untuk mencapai emisi nol dengan meluncurkan mekanisme transisi energi di pertemuan menteri keuangan G20, bulan Juni lalu.
“Pemerintah Indonesia sudah memberikan kebijakan yang relevan dan menciptakan lingkungan yang berkelanjutan untuk manufaktur terkait rendah karbon di Indonesia. Kami menerapkan pajak karbon sebagai skema penetapan harga karbon untuk mendorong kegiatan ekonomi rendah karbon. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, untuk mengatur program percepatan pemanfaatan kendaraan listrik.” ungkap Menkeu.
Walaupun begitu, Sri Mulyani menilsi Indonesia masih perlu waktu untuk mematangkan rencana penerapan pajak karbon dikarenakan situasi ekonomi, ancaman krisis pangan serta energi yang masih lemah.
NABILA NURSHAFIRA
Baca Juga: Terpopuler Bisnis: Sri Mulyani Soal Guncangan Ekonomi Global, Pendaftaran CASN Dibuka
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.