Rasio Utang Indonesia 37,9 Persen, Sri Mulyani: Penggunaan Fiskal Hati-hati
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 31 Agustus 2022 15:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan rasio utang Indonesia saat ini sebesar 37,9 persen termasuk relatif modest dibandingkan negara-negara lain. Pada 2021, kata dia, rasio utang Indonesia 40,7 persen terhadap PDB.
"Ini yang menggambarkan bahwa Indonesia menggunakan fiskalnya secara sangat prudent dan hati-hati," kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 31 Agustus 2022.
Dampaknya, menurut Sri Mulyani, terlihat dari pemulihan ekonomi yang cukup baik dan impresif hingga kuartal kedua 2022.
Ia mengakui rasio utang sempat melonjak pada tahun 2021. Namun, seiring dengan perbaikan penerimaan pajak dan pemulihan ekonomi, rasio ini sudah turun kembali di level 37,9 persen pada pertengahan 2022.
Oleh karena itu, Sri Mulyani, Indonesia termasuk dari sedikit negara yang mendapatkan perbaikan pemeringkatan utang oleh Standard and Poor (S&P) dari negatif menjadi stable. Indonesia mendapatkan assessment afirmasi dari lembaga pemeringkat lainnya seperti Moody's, Fitch, R&I, dan JCRA.
"Artinya, tidak dilakukan perubahan atau tidak mengalami downgrading. Outlook-nya relatif stabil," kata bendahara negara itu.
Selanjutnya: "Perekonomian AS tumbuh harus menambah defisit dan utang 24 persen dari GDP."
<!--more-->
Jika dibandingkan dengan negara-negara sovereign assessment yang lain, kata Sri Mulyani, 161 sovereign assessment mengalami downgrade. Adapun untuk revisi outlook, sebanyak 109 negara dihadapkan pada outlook yang negatif, sedangkan Indonesia afirmasi.
"Ini yang menggambarkan bahwa kita terus berhati-hati menggunakan instrumen APBN yang memang sangat penting, tetap harus bisa mengelola dari dampak guncangan ekonomi melindungi rakyat dan ekonomi, namun tidak mengorbankan kesehatan dan sustainability dari APBN," kata Sri Mulyani.
Lebih jauh Sri Mulyani memaparkan bahwa selama dua tahun belakangan atau 2020-2021, semua negara menaikkan defisit fiskal defisit karena penggunaan fiskal sebagai countercyclical policy. Di Indonesia, defisit fiskal naik 10,7 persen terhadap PDB.
Meski demikian, menurut Sri Mulyani, dengan kenaikan defisit fiskal tersebut dihasilkan Produk Domestik Broto yang sudah melewati sebelum masa pandemi di atas 7 persen. "Bayangkan negara-negara lain yang defisitnya jauh lebih besar yaitu menambah hingga 16 persen."
Bahkan, bila dibandingkan dengan India yang ekonominya pulih tapi harus membayar dalam bentuk lonjakan defisit fiskal hingga 23 persen dari GDP-nya hanya dalam waktu 2 tahun. "Amerika yang perekonomiannya tumbuh dan pulih harus menambah defisit dan utangnya sebesar 24 persen dari GDP," tutur Sri Mulyani.
Baca: Harga BBM Subsidi Dikabarkan Naik Besok, Pertamina Ungkap Kenaikan Volume Penjualan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.