RI Setop Kirim TKI ke Malaysia, Migrant Care Minta Perbatasan Wilayah Diperketat
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 17 Juli 2022 09:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyangsikan pernyataan Menteri Dalam Negeri Malaysia Hamzah Zainudin yang mengatakan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) tidak berdampak karena negara itu bisa mencari kebutuhan pekerja dari banyak negara lain.
Wahyu menilai pernyataan tersebut kontradiktif dengan yang terjadi di lapangan. Pasalnya, tingkat ketergantungan Malaysia atas pekerja asal Indonesia sudah sangat tinggi. “Bagaimanapun juga pekerja indonesia paling diminati pemberi kerja di sana," ujarnya ketika dihubungi, Sabtu, 16 Juli 2022.
Salah satunya, kata Wahyu, karena pekerja asal Indonesia punya keunggulan komparatif dibanding negara lain. "Misalnya sama-sama mengerti Bahasa Melayu dibanding negara lain, disamping budaya dan keseragaman lain."
Ia menjelaskan saat ini Malaysia kekurangan 1,2 juta tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja yang besar ini sangat mendesak apalagi Malaysia kini tengah berupaya mempercepat pemulihan ekonomi. Adapun pekerja di sektor perkebunan terutama sawit dan pekerja domestik, menurut Wahyu, adalah yang paling banyak dibutuhkan di negeri jiran tersebut.
Karena tingginya kebutuhan pekerja migran asal Indonesia ini, menurut Wahyu, pemerintah harus konsisten menegaskan komitmen Malaysia untuk mematuhi MoU yang sudah disepakati kedua negara. Ia juga berharap ini menjadi momen untuk menekan Malaysia agar Sistem Maid Online (SMO) tidak lagi dilegalkan demi kebaikan Pekerja Migran Indonesia.
“Saya kira kalau pemerintah kita konsisten moratorium itu benar-benar dijaga, perbatasan juga dijaga, atau tidak bocor, saya kira ini harusnya efektif utuk mendesak Malaysia agar berkomitmen pada MoU," kata Wahyu. "Setidaknya mengandalkan Maid Online lagi, atau sistem itu tidak lagi dilegalkan."
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri Malaysia (MICCI) mendesak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sumber Daya Manusia untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan, setelah Indonesia membekukan sementara pengiriman tenaga kerja ke negeri itu.
"Industri sedang pulih dan memenuhi permintaan. Tenaga kerja asing dari Indonesia sangat dibutuhkan terutama di sektor konstruksi dan perkebunan," kata Direktur Eksekutif MICCI, Shaun Cheah, kepada Free Malaysia Today, Jumat, 15 Juli 2022.
<!--more-->
Cheah menekankan bahwa masalah kekurangan tenaga kerja domestik sangat penting dan berdampak buruk pada pendapatan negara, meskipun ada permintaan ekspor.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Malaysia Hamzah Zainudin merespons keputusan Indonesia menghentikan sementara pengiriman TKI untuk sementara waktu. Saat itu, Malaysia disebut bisa merekrut pekerja asing dari banyak negara lain, termasuk di antaranya dari Bangladesh.
“Kami memiliki banyak orang asing yang bekerja di sini dan kami memiliki 15 negara lainnya (untuk dipilih),” kata Hamzah dikutip dari Free Malaysia Today, Jumat, 15 Juli 2022.
Moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia ini buntut pelanggaran perjanjian perekrutan yang ditandatangani kedua negara. Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah, menyatakan Indonesia menghentikan sementara penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia karena negara jiran tidak mengikuti kesepakatan dalam MoU untuk menerapkan sistem satu kanal (one channel system) pada 1 April 2022.
Dalam keterangan tertulis pada 14 Juli kemarin, Ida Fauziyah mengatakan kedua negara telah menandatangani MoU tentang Penempatan dan Pelindungan PMI Sektor Domestik di Malaysia pada 1 April 2022. Di dalamnya disebutkan bahwa penempatan lewat sistem satu kanal sebagai satu-satunya cara menempatkan PMI sektor domestik ke Malaysia.
Namun Departemen Imigrasi Malaysia tetap menggunakan Maid Online System (SMO), yakni kanal saluran pekerja asing Malaysia di luar kanal yang disepakati kedua negara One Channel System. Indonesia keberatan penggunaan SMO karena WNI bisa masuk Malaysia sebagai turis dan mendaftar sebagai pekerja, sehingga tidak ada jaminan perlindungan.
Pembekuan ini merupakan pukulan terbaru bagi Malaysia yang merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Malaysia tengah kekurangan tenaga kerja sekitar 120.000 orang, yang menyebabkan industri tersebut kehilangan pendapatan RM 28 miliar atau Rp 94,5 triliun tahun ini karena tandan buah segar tidak dipanen.
EKA YUDHA SAPUTRA | ANTARA | FREE MALAYSIA TODAY
Baca: 4 Langkah untuk Naikkan Harga TBS Versi Pengusaha: Tak Cukup Hapus Pungutan Ekspor CPO
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.